Oleh
Ahmad Ali MD
Ini merupakan
jawaban untuk saudara Slamet Syakroni, teman facebooker kita yang
menanyakan masalah hukum arisan qurban atau akikah.
Hukum qurban
dan akikah sudah maklum, yaitu sunnah muakkadah (sangat dianjurkan mengerjakannya).
Bahkan Madzhab Hanafiyyah mewajibkan qurban, dalam pengertian meskipun orang
yang tidak melakukannya tidaklah berdosa namun, menurut mereka, ia terhalang
dari mendapatkan syafaat Nabi Muhammad s.a.w. di akhirat kelak (Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah). Masalahnya bagaimana jika qurban
atau akikah itu dari hasil arisan? Dalam hal ini harus dilihat bahwa pada
dasarnya arisan hukumnya boleh (jâ’izah/halal). Demikian keterangan
dalam Kitab al-Qulyûbî wa ‘Amîrah (II: 258), dan Nihâyat al-Muhtâj
(II:211). Pendapat demikian sebagaimana Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU)
ke-18 di Ponpes Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, 25-28 Nopember 1989 mengenai hukum
arisan haji yang jumlah setorannya berubah-ubah, dalam Ahkâm al-Fuqahâ’
Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes
Nahdhatul Ulama [1926-1999 M.].
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, kata arisan berarti kegiatan mengumpulkan uang atau
barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka
untuk menentukan siapa yang memperolehnya, undian dilaksanakan dalam sebuah
pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. Kata arisan jika
mendapat imbuhan di awal “be” menjadi berarisan artinya bertemu (berkumpul)
secara berkala untuk arisan.
Arisan
telah menjadi adat atau tradisi baik di masyarakat kita. Dari sisi ini kaidah al-‘Âdah
Muhakkamah, yakni Adat atau tradisi baik yang berlaku di suatu masyarakat itu
bisa dijadikan hukum, dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran Islam, seperti menghalalkan yang jelas-jelas diharamkan oleh Islam
seperti daging babi, judi (maisîr), atau mengharamkan yang jelas-jelas
dihalalkan oleh Islam seperti jual beli, nikah, dan pinjam-meminjam atau
utang-piutang.
Dilihat
dari sisi substansinya, pada hakikatnya arisan merupakan akad `âriyah,
yaitu akad pinjam-meminjam, lebih tepatnya akad al-qardh/al-qirâdh
(utang-piutang). Dengan demikian uang arisan yang diambil oleh orang yang
mendapat atau memenangkan undian itu adalah utangnya pada peserta arisan yang
lainnya dalam kelompok arisannya. Selain itu merupakan bentuk akad yang
didasarkan pada prinsip ta’âwun (tolong-menolong). Karena dengan arisan, suatu maksud tertentu, kurban
atau akikah misalnya, dapat dicapai dengan cara arisan, meskipun seseorang
secara langsung belum mempunyai biaya untuk kurban atau akikah sebelum mememangkan
undian arisan tersebut. Dilihat dari sisi lain, arisan juga merupakan bentuk tabungan,
di mana cicilan tabungan dalam bentuk setoran atau iuran arisan menjadi
tabungan dirinya yang keseluruhannya dapat diambil olehnya ketika mendapatkan
giliran atau undian.
Untuk
itu, sebagaimana dalam setiap akad, transaksi atau bisnis islami/syar’i,
haruslah terpenuhi beberapa kriteria atau prasyarat, yaitu terhindar dari unsur
maisîr (judi), ribâ (bunga/kelebihan yang dipersyaratkan), dan gharâr
(ketidakjelasan). Atas dasar ini maka
dalam arisan harus dipenuhi unsur keadilan atau kesamaan dalam hal iuran yang
dikumpulkan dan keadilan memperoleh undian. Artinya orang yang mendapat undian
tidak boleh mengambil undiannya lagi hingga semua peserta arisan itu
mendapatkan undian yang sama dan mendapatkan giliran yang sama pula untuk qurban
atau akikah dengan uang arisan tersebut.
Terhindar
dari unsur riba atau kelebihan atau beban yang dipersyaratkan, maksudnya
seseorang anggota arisan hanya mendapatkan jumlah total nilai uang hasil arisan
yang terkumpul. Misalnya 20 orang peserta arisan, masing-masing menyetor uang
arisan Rp. 20.000,00 sekali dalam seminggu (sebulan 4 x). Dalam arisan pertama
terkumpul uang 400 rb. Dalam sebulan uang arisan terkumpul Rp 400.000,- x 4 =
Rp 1600.000,-. Undian arisan dilakukan sebulan sekali, maka misalnya ketika A menang
undian di akhir bulan (minggu ke-4), sebagai peserta pertama yang memenangkan
undian, maka ia mendapatkan uang sebesar Rp. 1.600.000,-, Jadi pada dasarnya
sejumlah uang ini merupakan utangnya pada peserta arisan 19 orang selain
dirinya. Karena si A sudah setoran 4 x=
80 rb, berarti utangnya yang harus dibayar melalui arisan kurang 1.520.000,-
(76 x). Di samping itu uang sejumlah itu pada dasarnya merupakan tabungan yang
diambil di muka, sebelum setorannya mencapai jumlah tersebut. Dalam hitungan
matematis, tabungannya akan full sebesar itu bila ia telah setor/iuran
arisan itu sebanyak 80 x (20 bulan=1 th 8 bl). Si A tidak boleh terbebani
melebihi besaran Rp. 1.600.000,- Kelebihan yang dipersyaratkan merupakan riba. Masing-masing
anggota yang 19 orang lainnya itu punya hak sama untuk memperoleh Rp. 1.600.000,-,
dan berkesempatan yang sama pula sehingga dapat berkorban atau berakikah dari
uang arisan tersebut, dan juga punya kewajiban yang sama iuran sebanyak itu.
Selain
itu, harus terhindar dari gharar, maksudnya kegiatan arisan harus jelas
mekanismenya, misalnya undian diadakan setelah 1 bulan pertama dan setelah itu
setiap pertemuan mingguan secara berkala; uang arisan disetor setiap pertemuan;
uang arisan ditujukan untuk sesuatu yang jelas, kurban atau akikah misalnya.
Dengan
keterangan ini, diharapkan permasalahan arisan qurban atau akikah tersebut
dapat dipahami oleh si penanya dan pembaca yang memerlukannya.
Karawaci,
15 Dzulhijjah 1432 H./21 Desember 2010 M.