Semua kita hafal surat al-Fâtihah, meskipun tingkat kefasihan bacaan dan pemahamannya beraneka ragam. Surat ini sangat fital terutama dalam ibadah shalat, karena itulah disebut al-Sab`u al-matsânî, tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang setiap kali melakukan shalat, yang membacanya merupakan rukun di dalamnya. Untuk itu, menjadi sangat penting dipahami isi kandungannya.
Di antara kandungan ayat yang penting dipahami itu adalah ayat ke-5, yang merupakan inti surat al-Fâtihah. Ayat dimaksud berbunyi,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
"Hanya kepada-Mu (Allah) kami menyembah, dan hanya kepada-Mu jua kami memohon pertolongan."
Ayat ini sangat mendasar. Pertama, ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa Allah, karena ridha Allah (lillâh) harus menjadi motivasi atau orientasi perbuatan kita. Yang berhak disembah, dijadikan Tuhan hanyalah Allah semata. Menuhankan Allah semata, bukan menuhankan atau menyembah selain-Nya, berupa harta benda, tahta/kekuasaan, wanita, perhiasan, popularitas, dst. Orientasi menuhankan uang, kekuasaan atau jabatan, dan tunduk pada popularitas dsb, sudah membudaya dalam kehidupan banyak orang Islam dewasa ini, inilah paham materialisme, yang menjadi tolak ukur adalah serba materi, kebendaan, bahkan menjadi orientasi, cita-cita, dan tujuan hidup. Jelas-jelas ini tidak sejalan dengan ayat tersebut.
Kedua, ayat ini mengajarkan kepada umat Islam suatu prinsip yang penting yaitu prinsip berjamâ`ah (kebersamaan), baik dalam memenuhi hak Allah (haqqullâh), ketaatan kepadaNya, maupun hak hamba, kebutuhan hidup manusia (haqq al-`ibâd). Bahwa redaksi ayat itu memakai shighat atau bentuk mutakallim ma`a al-ghair, menggunakan harf al-mudhâra`ah: nûn yang menunjukkan arti kami/kita, na`budu (kami menyembah), dan nasta`înu (kami memohon pertolongan).
Bahwa kita dalam beribadah memenuhi hak Allah (haqqullâh), itu hendaknya menafikan sifat egoisme (keakuan diri), tetapi mengedepankan kolektifitas, kebersamaan, ketenteram jiwa bersama. Demikian juga dalam memenuhi hak diri, kebutuhan hidup (haqq al-`ibâd), juga mengedepankan kebersamaan (jamâ`ah), kesejahteraan bersama. Berdasarkan ajaran ayat ini, maka menejemen ibadah, dengan cara berjamaah, dalam berbagai sendi kehidupan menjadi sangat penting. Karena itulah berjamaah merupakan syiar Islam. Bahkan menjadi sesuatu yang fundamental (mendasar).
Ibadah dalam arti sempit merupakan pengertian ibadah mahdhah (ibadah murni), seperti shalat, zakat, puasa, dan haji wajib, dan ibadah dalam arti luas meliputi segala perbuatan baik yang ditujukan untuk memperoleh ridha Allah `Azza wa Jalla.
Beramar makruf nahi mungkar merupakan bagian ibadah dalam arti luas. Dalam konteks ini, maka memenej ibadah dengan cara membuat atau memulai suatu perbuatan baik, dan kebiasaan baik yang diikuti banyak orang, bahkan secara terus menerus menjadi penting dilakukan. Karena dengan itu berkat kemahabijaksanaan Allah seseorang yang memulai perbuatan baik yang kemudian diikuti bahkan menjadi tradisi maka pahala perbuatan baik itu kemudian dilipat gandakan: orang pertama yang memulainya mendapat pahala dari orang yang kemudian, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Ini berdasar hadis riwayat Muslim bersumber dari Abû `Amr, Jarîr bin `Abdillâh, bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيئ.
"Siapa saja yang memulai dalam Islam perbuatan yang baik baginya pahala kebaikan itu, dan pahalanya orang yang mengikuti perbuatan baik itu setelahnya tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka".
(Hadis ini tersebut dalam Kitâb Riyâdh al-Shâlihîn karya Imam Abû Zakariyyâ Yahya bin Syarf al-Dîn al-Nawawî)
Dalam ajaran agama kita, kita diperintahkan untuk menjauhi dosa. Kata dosa yang dalam bahasa Arab ada beberapa istilah: wizr-un, itsm-un dan dzanbun yang semuanya berarti dosa. Pada dasarnya setiap orang, masing-masing menanggung perbuatan dosa yang dilakukannya sendiri. Ini disebut wizr al-mubâsyarah (dosa langsung). Dalilnya antara lain adalah surat al-An`âm ayat 164, al-Isrâ’ ayat 15 dan Fâthir (35), ayat 15. Firman Allah tersebut dalam surat al-An`âm ayat 164:
وَلاَتَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَتَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى...
”Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatan-nya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Namun harus diingat bahwa seseorang juga bisa memikul dosa yang dilakukan oleh orang lain, ini disebut wizr al-tasabbub (dosa tidak langsung), yaitu dosa yang dipikul seseorang karena ia menyebabkan orang lain melakukan atau mengikuti perbuatan dosa. Dengan kata lain perbuatan dosa yang dilakukan orang lain disebabkan perbuatan dosa yang ia lakukan. Membuat kebijakan atau aturan maupun tuntunan jelek yang diikuti orang banyak, berdampak orang yang memulai melakukannya juga ikut memikul beban dosa dari perbuatan dosa mereka yang mengikutinya.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang merupakan penjelas terhadap ayat di atas, hadis riwayat Imam Muslim yang merupakan redaksi lanjutan dari hadis yang telah dikutip di atas:
ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارههم شيئ.
Dan siapa saja yang dalam Islam memulai suatu perbuatan jelek maka ia mendapatkan dosa perbuatan jelek itu, dan dosa orang yang melakukan setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.
Maraknya kasus pornografi maupun pornoaksi, korupsi, suap, dan sejenisnya, meskipun di negara kita telah mempunyai peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan tidak kurang dari lima peraturan perundang-undangan anti korupsi, menunjukkan betapa banyak orang sudah tidak menyadari dosa yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat di hadapan Sang Yang Maha Menguasai Hari Pembalasan (Mâliki Yaum al-Dîn). Mereka berarti tidak memenuhi kategori beriman kepada yang gaib, dalam hal ini hari akhirat. Karena beriman kepada yang gaib (akhirat), konsekuensinya harus mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan perbuatan baik (amal shaleh). Meskipun nanti di akhirat kelak, mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa, di Padang Makhsyar ada Syafaat Nabi Syafa`at al-`Udzmâ (Syafaat Agung) bagi umat Nabi, orang Islam, namun penting disadari bahwa orang yang demikian tergolong dalam golongan orang yang lama di neraka, keluar dari api neraka paling akhir, dan masuk surga pun juga paling akhir.
Menjauhkan perbuatan dosa merupakan bukti keimanan kepada akhirat, karena menyadari bahwa di hari itulah merupakan hari pembalasan (Yaum al-Dîn) yang seadil-adilnya terhadap amal perbuatan manusia selama di dunia, perbuatan baik dibalas dengan kebaikan dan perbuatan jelek dibalas dengan kejelekan pula.
Semoga Allah S.W.T menunjukkan kita kepada jalan-jalan ibadah yang diridhai-Nya, dan menjauhkan kita dari perbuatan dosa, baik dosa langsung (wizr al-mubâsyarah) maupun dosa tidak langsung (wizr al-tasabbub). Amîn.
Marilah kita perhatikan peringatan Allah SWT. dalam al-Qur’an surat al-An`âm/6:120:
وَذَرُوا ظَاهِرَ اْلإِثْمِ وَبَاطِنَهُ إِنَّ الَّذِينَ يَكْسِبُونَ اْلإِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ.
"Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan."
Disarikan dari Khutbah Jum’at di Masjid Jâmi' al-Arsyad Karawaci Kota Tangerang, Juni 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar