Minggu, 19 September 2010

Zakat dan Kemiskinan

Oleh Azyumardi Azra
 
Zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Inilah salah satu subjek yang paling banyak dibicarakan dalam berbagai ceramah iftar, kultum, dan dan bahkan seminar sepanjang Ramadhan menjelang Idul Fitri dan bahkan di luar waktu tersebut. Pembicaraan tentang subjek ini umumnya terkait dengan potensi ZIS untuk memberantas atau sedikitnya mengurangi kemiskinan yang masih merajalela di dalam masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia.

Dengan menggunakan kriteria pendapatan Rp 200.269 perkapita/bulan, BPS (Maret 2010) mencatat adanya 31,02 juta penduduk miskin-14,15 persen dari total penduduk Indonesia sekitar 228 juta jiwa. Jumlah warga miskin menjadi berlipat ganda jika menggunakan ukuran kemiskinan versi Bank Dunia, yaitu pendapatan 2 dolar AS per hari. Dengan ukuran ini, jumlah mereka mendekati 100 juta jiwa. Jelas, pemerintah dan bahkan juga donor asing tidak mampu memberantas kemiskinan yang begitu akut. Karena itulah, kontribusi masyarakat, khususnya umat Islam, melalui ZIS diharapkan dapat mengurangi kemiskinan.

Kaitan antara ZIS, khususnya zakat, dengan pemberantasan kemiskinan mendapat perlakuan khusus melalui penelitian Dompet Dhuafa, Peta Kemiskinan: Data Mustahik, Muzaki, dan Potensi Pemberdayaan Indonesia (2010). Hasil penelitian yang saya terima menjelang Idul Fitri ini merupakan sumbangan sangat signifikan dalam melihat peta mereka yang berkewajiban membayar zakat (muzaki) dan mereka yang berhak menerima zakat khususnya (mustahik) di seluruh Indonesia; mencakup semua provinsi sejak Papua sampai ke Nanggroe Aceh Darussalam; sebuah upaya pemetaan potensi zakat secara komprehensif.

Menurut penelitian ini, terdapat 23.676.263 muzaki di seluruh Indonesia dengan jumlah kumulatif terbesar di Jawa Barat 4.721.101 orang, Jawa Timur 2.871.741 orang, DKI Jakarta 2.467.677 orang, Jawa Tengah 2.181.139, Banten 1.324.908 orang, dan Sumatra Utara 1.094.889 orang. Sebagian besar (60,6 persen) muzaki adalah laki-laki; tetapi potensi perempuan tidak bisa diabaikan, yakni 39,4 persen. Penting dicatat, para muzaki ini sebagian besar berusia antara 25-59 tahun (26,1 persen berusia antara 25-34 tahun; 25.00 antara 35-44; dan 26,4 persen antara 45-59 tahun). Tak kurang menariknya adalah latar belakang pekerjaan para muzaki: 27,3 persen bekerja pada sektor pertanian; 20,8 persen pada sektor industri; 18,2 persen pada sektor jasa; dan 10,7 persen di sektor industri.

Sebagai kontras, jumlah mustahik di seluruh Indonesia adalah 33,943.313 jiwa-angka yang tidak berbeda terlalu banyak dengan jumlah penduduk miskin dalam estimasi BPS. Mereka yang berhak menerima zakat paling banyak terdapat di Jawa Timur 7.446.180 jiwa; Jawa Tengah 7.012.814; Jawa Barat 5.736.425; Lampung 1.560516; NAD 1.280.104; Sumatra Selatan 1.219.050; Banten 1.113.876; Sumatra Utara 1.076.778; NTB 1.041.402. Jumlah mustahik di provinsi-provinsi lain berkisar antara 60 ribuan sampai 500 ribuan orang. Dari segi gender nyaris berimbang: 49,9 persen mustahik adalah laki-laki, sisanya 50.1 persen perempuan. Lalu, 52 persen mustahik belum menikah; 42 persen menikah; cerai mati 4,6 persen; dan cerai hidup 1,4 persen. Tingkat pendidikan mereka pun sangat rendah, yakni 77 persen tidak tamat/tamat SD. Sebagian besar mustahik bekerja di sektor pertanian (63,1 persen); industri 8,9; perdagangan 8,8; dan jasa 7.2.

Masih banyak rincian menyangkut berbagai aspek kehidupan muzaki dan mustahik sejak dari status tempat tinggal mereka sampai potensi mereka sejak dari soal simpan pinjam dan kredit sampai kepada akses pada jalan aspal, listrik, dan siaran TV. Semua data ini jelas dapat memberikan banyak perspektif tentang para muzaki dan mustahik, khususnya dalam konteks pengumpulan zakat (dan juga infak dan sedekah) dan distribusinya kepada para mustahik sesuai dengan realitas kesulitan hidup mereka.

Potensi zakat (dan juga infak dan sedekah) Indonesia jelas sangat besar. Tendensi dalam 10 tahun terakhir menunjukkan terus meningkatnya jumlah dana yang terkumpul. Menurut berbagai kajian, kenaikannya rata-rata 38,79 persen per tahun; terakhir pada 2009 diperkirakan terkumpul dana zakat sebesar Rp 1,2 triliun.

Namun, juga jelas, potensi zakat yang ada (27,2 T untuk 2009) masih jauh daripada terealisasi. Karena itu, masih sulit berharap dana zakat dapat berperan penting dalam pengentasan warga dari kemiskinan. Lagi pula, tanggung jawab pemberantasan kemiskinan tetap berada pada pemerintah melalui APBN, bukan Organisasi Pengumpul Zakat (OPZ) dengan dana zakat yang relatif masih sangat terbatas itu.

Sumber: http://www.koran.republika.co.id/koran/28/119092/Zakat_dan_Kemiskinan dimuat Kamis, 16 September 2010 pukul 09:36:00.

Kamis, 16 September 2010

Menjauhkan Agama dari Kekerasan

Oleh Ahmad Ali MD

Kekerasan terjadi di mana-mana, terorisme berupa aksi pengeboman setiap tahun terjadi di Tanah Air sejak tragedi Bali pada tahun 2002 yang menewaskan sekitar 202 orang dan mencederakan 209  orang, hingga bom di Hotel JW. Marriot dan Hotel Ritz Carlton Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan pada 2009, dst. Peristiwa semacam ini masih menghantui kita: perusakan tempat-tempat maksiat, terutama menjelang dan dalam bulan Ramadhan oleh sekelompok orang yang biasanya mengatasnamakan FPI (Front Pembela Islam), kekerasan terhadap para aktivis HAM (hak asasi manusia), seperti yang pernah terjadi dalam kasus Monas, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, baik yang dilakukan oleh majikan pada pembantunya, suami pada isterinya atau sebaliknya, maupun penelantaran anak oleh orangtuanya.Bahkan yang terkini, kasus penusukan terhadap pendeta HKBP Bekasi beberapa waktu lalu, yang dilakukan oleh "oknum", entah apapun motifnya. 

Anehnya, kekerasan semacam itu, didasarkan pada agama: mencari legitimasi pembenaran agama melalui teks-teks —kitab— keagamaan. Misalnya, terorisme dalam bentuk pengeboman dimaksudkan sebagai bentuk jihad; perusakan tempat-tempat maksiat dimaksudkan sebagai pelaksanaan perintah nahy ‘anil munkar (mencegah kemungkaran). Padahal dalam konteks nation-state seperti Indonesia, yang berhak bertindak tegas adalah negara. Tentu ini pun dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, misalnya untuk menjaga disintegrasi bangsa, menumpas pemberontakan setelah adanya ajakan dialog intensif.

Memang ironis terjadi di negeri yang berpedoman pada sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kekerasan bukanlah bagian dari aksi kemanusiaan dan keadaban, tapi merupakan aksi kebiadaban. Padahal kita percaya agama mengajarkan kedamaian dan keselamatan bagi manusia. Islam membawa misi rahmatan lil ‘alamin (menebarkan kedamaian dan ketenteraman bagi semesta alam); dan Kristen menekankan ajaran kasih sayang kepada sesama. Namun agama ternyata telah seringkali disimpangkan dan diselewengkan oleh manusia.

Mengapa agama disalahgunakan? Charles Kimball, Guru Besar Studi Agama di Universitas Wake Forest, AS dalam bukunya Kala Agama Jadi Bencana (2004), seolah mewakili kecemasan umat manusia akan potensi penyalahgunaan agama tersebut. Ia memetakan secara apik beragam potensi dan asal-usul kekerasan yang dimiliki setiap agama, sembari tak lupa mengguratkan pelbagai kemungkinan perbaikan yang mendukung kembalinya khittah agama sebagai penebar cinta, kasih sayang dan perdamaian antarsesama.

Lima Tanda Penyimpangan
Menurutnya, untuk melihat tanda-tanda penyelewengan manusia atas agama yang menyebabkan bencana kemanusiaan itu, klaim kebenaran agama (truth claim) secara berlebihan yang diteriakkan pemeluk agama harus ditempatkan sebagai penyebab utama dan jadi titik awal kajian tentang praktik pengingkaran manusia atas kesucian agama. Padahal agama mempunyai nilai-nilai yang suci atau universal, seperti kemanusiaan, keberadaban dan perdamaian. Menurutnya ada lima tanda penting penyimpangan atas agama sebagai berikut:

Pertama, pemutlakan kebenaran tersebut disangga oleh pendekatan harfiah (literal) dalam memahami teks-teks kitab suci yang membuka celah bagi penyalahgunaannya. Pendekatan harfiah itu pula yang mendorong kian menyeruaknya tafsir monoponik yang memonopoli kebenaran dan ujung-ujungnya jadi sarana justifikasi teologis bagi praktik pengafiran serta penyingkiran siapa pun yang memiliki tafsir keagamaan yang berbeda.

”Bahkan iblis pun dapat mengutip ayat demi mencapai segala tujuannya,” kata Shakespeare sebagaimana dirujuk Kimball dalam bukunya tersebut terasa begitu mengena. Padahal, seperti dinyatakan Robert Alter, pakar kajian Yahudi dan sastra perbandingan, dalam tradisi keagamaan Yahudi, misalnya, ”makna bukanlah milik teks, melainkan sesuatu yang harus selalu dikaji dan terus-menerus dicari dan didefinisikan ulang” (Damanhuri, 2004).

Kedua, kepatuhan dan taklid buta kepada pemimpin agama dengan konsekuensi diringkusnya kebebasan intelektual serta absennya integritas individu menjadi sekadar pengabdian total pada otoritas pemimpin karismatik. Sekte-sekte dan kultus keagamaan ala Aum Shinrikyo (Jepang) atau People Temple (AS) menyodorkan manifestasinya yang paling tegas.

Ketiga, kerinduan akan zaman ideal yang benar-benar tanpa cacat dan berbeda dari zaman yang tengah dilalui —sembari berupaya keras untuk merealisasikannya sepersis mungkin seperti apa yang dikabarkan kitab suci— hal ini kini malah mendistorsikan agama itu sendiri. Cita-cita tentang zaman ideal tersebut, menurut Kimball, biasanya bermetamorfosis dalam keinginan yang menggebu untuk menegakkan negara-agama (teokrasi).

Keempat, adanya usaha untuk melestarikan praktik ”tujuan menghalalkan segala cara”. Machiavelisme keagamaan ini di antaranya mewujud ketika upaya memancangkan identitas kelompok sendiri harus diikuti cara-cara yang mendehumanisasikan siapa pun yang berada di luar komunitasnya, misalnya peristiwa Holocaust yang memusnahkan sekitar enam juta kaum Yahudi.

Kelima, adalah diteriakkannya seruan perang suci atau jihad sebagai tugas mulia yang wajib dilakukan.

Paradigma Baru ”Dakwah Humanis”
Dengan mendedah dan memetakan lima bentuk patologi keagamaan di atas, menurut Kimball, tak harus dimaknai telah habisnya unsur-unsur korektif dalam agama. Sebab, menurutnya, bila ditelusuri dengan jernih, antidot bagi kekerasan dan ekstremisme keagamaan itu sebenarnya telah tersedia dalam semua tradisi keagamaan.

Kita sebenarnya masih bisa berharap akan munculnya agama yang mengibarkan panji kemanusiaan universal. Bagaimana agar agama tidak dikorupsi/disimpangkan?

Untuk menghalau tendensi koruptif atau manipulatif dalam beragama dan melempangkan serta menebarkan upaya terciptanya kedamaian dan persaudaraan antariman/persaudaraan kemanusiaan itu, dibutuhkan sebuah paradigma baru: ”cara menjalani kehidupan partikular di tengah pluralisme” yakni aktualisasi keberagamaan kita melalui ”dakwah humanis”. Sebab, saat ini rasa-rasanya hampir mustahil bisa menolak kesalingtergantungan (dependensi) antaragama. Sama mustahilnya mengangankan untuk bisa hidup dalam atribut identitas sosial-budaya yang monolitik (tunggal).

”Dakwah humanis” ini sangat mendesak untuk segera dan selalu dilakukan oleh agama-agama (para tokoh dan pemimpin agama). Mendeklarasikan ”dakwah humanis” dan emansipatif yakni mengajak diri sendiri dan publik untuk memegang teguh nilai-nilai universal agama: kasih sayang, kedamaian, pluralitas, solidaritas sosial, keadilan, dan kesejahteraan manusia. Juga menghindarkan tindakan provokatif, aksi teror dan kekerasan yang mengatasnamakan agama: jihad atau perang suci. 

-------------
Arsip

Versi awal telah dimuat di HU Sinar Harapan, 3 November 2004, h. 10.

Minggu, 05 September 2010

Hifzh al-Maal: Uang Tuhan untuk Rakyat Miskin

Oleh Ahmad Ali MD
Pemeliharan harta benda (hifzh al-maal) merupakan satu butir penting di antara lima tujuan syariat (al-maqaashid al-khamsah). Yang dimaksudkan hifzh al-maal, meliputi: sub sistem penyediaan dana, seperti zakat, wakaf dan baitul mal; sub sistem pemilikan; dan sub sistem pemanfaatan atau pendistribusian harta (al-mashaarif, tasharruf al-maal). Bahwa dalam ajaran Islam, harta harus dihasilkan dari jalan yang halal dan baik (halaalan thayyiban). Jalan kepemilikan harta yang tidak baik, seperti melalui korupsi, riba, berjudi, menipu, menyopet dan sebagainya harus dijauhi. 

Harta juga harus diberikan pada dan dengan jalan yang baik pula, seperti untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, meningkat kualitas pendidikan, pemberdayaan ekonomi umat, pelatihan jurnalistik, dst. Dengan cara yang baik, maksudnya bukan untuk riyaa’ atau sum’ah (dipublikasikan) agar mendapatkan pujian atau menjadi tenar.

Tasharruf al-maal menjadi fokus perhatian Islam. Bahwa sejak semula Islam memandang harta haruslah memiliki fungsi sosial. Kapitalisme bukanlah ajaran dasar Islam. Karena Islam menekankan konsep keadilan yang menghendaki tidak bertumpuknya kekayaan pada segolongan orang semata, sehingga memperlebar jurang kemiskinan dan kesenjangan sosial (QS. al-Hasyr: 7). 

Sikap yang dituntut sebagai pemeluk yang taat adalah memerangi kekikiran dan berperilaku sebagai dermawan (QS. al-Ma’un: 1-3). Perlu dicamkan, "Tanpa tindakan-tindakan kasih dan dermawan yang dilakukan karena dorongan agama, tatanan sosial Islam akan hancur, sebab di banyak tempat di dunia Islam, pemerintah tidak cukup kuat atau cukup kaya untuk memenuhi kebutuhan minimum seluruh warga mereka.” (Sayyed Hosein Nasr). 

Nilai kedermawanan di atas bahkan melekat pada ciri-ciri orang yang beriman (QS. al-Baqarah: 3-4). Maka sangat memalukan sebagai penganut Islam tidak memerangi monopoli ekonomi yang pada dasarnya adalah penumpukan kekayaan secara berlebihan. Takwa itu bukan semata-mata kepercayaan akan keberadaan Allah, tapi juga sebuah keberimanan yang berfungsi sebagai transformasi sosial, pembebas dan pembela bagi manusia yang tertindas (al-mustadh’afiin).

Sistem yang tidak adil dan korup mengakibatkan kesenjangan dan kemiskinan. Dalam al-Quran tidak dibedakan antara mereka yang penindas dan tertindas, dalam tanggungjawab atas sistem yang tidak adil ini. Penindas bersalah karena arogansinya, kekayaannya, dan kekuasaannya. Al-mustadh’afiin bersalah karena menerima penindasan itu dengan tidak melakukan perlawanan. Dengan begitu, penindas secara leluasa melanjutkan penindasannya dan orang-orang yang ditindas tidak bangkit dan menumbangkan sistem yang korup. Para penguasa bebas merancang, merekayasa, mendesain berbagai peristiwa, untuk menipu kaum mustadh’afiin. Pada gilirannya kaum mustadh'afiin tidak pernah mau berpikir kritis, dengan digiring ke dalam rekayasa para penindas (Jalaluddin Rahmat dalam Eko Prasetyo: 2004). 

Untuk itulah Islam diturunkan, memerangi kaum kapitalis/borjuis yang tidak adil dan memihak sepenuhnya pada kaum miskin. Benarlah seperti yang dikatakan Dr. Thaha Husain, jika Muhammad saw. hanya mengajarkan ke-esaan Tuhan tanpa menyerang tatanan ekonomi yang pincang, perbedaan sistem sosial dan tidak melarang riba secara keras, bisa jadi suku Quraisy akan menerima dengan mudah Islam. Perlambang yang tepat untuk melukiskan itu semua dalam Islam tertuang pada kata “kitab” yang menjadi simbol kebudayaan intelektual dan pendidikan; “neraca” lambang persamaan, kebenaran dan keadilan; lalu “besi” lambang kekuatan material, seperti peradaban industri, kekuatan militer—dalam mempertahankan eksistensi kedaulatan negara, kekuatan individu dan sosial. 

Fungsi sosial dari pemilikan dalam Islam bukan hanya agar tidak menimbulkan kerugian baik yang dirasakan oleh individu maupun orang banyak, tetapi lebih dari itu, hak milik pun harus bersifat aktif dan produktif. Artinya, pemilik harus membiarkan dan mengizinkan orang lain memanfaatkan miliknya, sepanjang tidak merugikan kepentingannya, bahkan memberikan kemanfataan yang lebih besar (mashlahah al-‘ammah, mashlahah al-mujtama’). 

Mengenai tasharruf al-maal li mashlahah al-mujtama’, Islam telah mengatur berbagai jalannya melalui zakat, infaq, shadaqah (ZIS). Dalam hal tanggungjawab distribusi harta untuk orang yang lemah, terdapat tiga tingkat. Tingkat pertama di kalangan sesama anggota keluarga. Tingkat kedua, dalam tingkat kampung, desa/kelurahan dan kota. Ketiga pada tingkat negara harus dipenuhi oleh pemerintah. Pemerintah bertanggungjawab bagi “kesejahteraan umum” (UUD 1945), terutama kaum lemah yaitu dengan menarik zakat, pajak dan semacamnya yang kemudian didistribusikan kepada mereka (Abu Zahrah: 1991). 

Karenanya, pemerintah dan DPR, DPD maupun DPRD harus betul-betul memperhatikan perihal anggaran. APBN/APBD harus betul-betul dialokasikan untuk kebutuhan dan kepentingan warga, terutama yang lemah.
Pendistribusian harta bukan sekedar bagi-bagi saja, tetapi harus mengupa-yakan terciptanya pember-dayaan ekonomi dhuafaa’. Program pemberdayaan ini semestinya dilakukan oleh pemerintah dan Lembaga Pengelola Zakat (LPZ). 

Lima hal yang hendaknya dicapai dari program pemberdayaan di atas (Efri S. Bahri: 2004). Pertama, mengubah mustahik menjadi muzaki. Untuk mencapainya, perlu adanya tools (perangkat/alat) yang mampu memberdayakan mustahik. Tools itu mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian serta evaluasi program. Sehingga alokasi dana untuk mustahik, bukan sekadar bagi-bagi, namun mampu menjadi aset produktif. Makin tinggi produktivitas mustahik makin besar pula tingkat keberhasilan suatu LPZ. Keberhasilan para mustahik tentu juga akan meningkatkan jumlah para muzaki. Sehingga semakin banyak pula mustahik lain yang tertangani. 

Kedua, meningkatkan harkat hidup mustahik. Hal yang dilakukan adalah mengangkat dan memulihkan motivasi dan kesadaran mustahik untuk terus bangkit dari kondisi yang mendera, memberontak pada ketidakadilan dan sistem yang korup. Karena dengan motivasi hidup menjadi makin bergairah, pikiran makin terbuka, hati menjadi sejuk, hari-hari akan penuh dengan karya. 

Ketiga, menciptakan lapangan pekerjaan. Adanya pekerjaan yang tetap dan memadai akan sangat bermanfaat bagi keluarga mustahik. 

Keempat, meningkatkan tali persaudaraan sesama “pengusaha” penerima dana ZIS. Makin kuat persaudaraan akan membentangkan pergaulan diharapkan makin banyak pula alternatif yang diraih guna mengubah kondisi menjadi lebih baik. 

Kelima, adanya perubahan pola pikir dan pola hidup yang lebih pro-duktif. Hal ini dapat dicapai dengan adanya pelatihan peningkatan motivasi, tausiah konsep hidup produktif secara Islami, perencanaan keuangan keluarga, serta berkunjung ke lokasi-lokasi produktif. 

Oleh karena itu, pemerintah maupun LPZ perlu menerapkan prinsip, kemandirian bagi masyarakat, profesionalisme manajerial dan pengawasan terhadap lembaga mitra LPZ. Bentuk pengelolaan program dilakukan baik secara langsung, yakni dikelola oleh lembaga ekonomi, dimana LPZ terlibat dalam permodalan dan kepemilikan, baik secara keseluruhan atau sebagian, dan dapat terlibat dalam manajemen operasinya; maupun secara tidak langsung, yakni dimana pihak LPZ terlibat dalam modal penyertaan, tapi bukan penyerta kepemilikan, atau sebatas fungsi lembaga penyandang dana yang memberikan fasilitas bantuan pendanaan, bantuan pinjaman modal. 

Strategi seperti inilah yang perlu dikembangkan lebih serius lagi. Inilah maksud dari hifzh al-maal. Bahwa harta harus dikelola dengan baik agar dapat berfungsi sosial secara maksimal, mensejahterakan rakyat miskin.*
-------------
Arsip
Semula dimuat di Tabloid Jum'at An-Nadhar, P3M Jakarta, kemudian dimuat di www.islamemansipatoris.com (almarhum), ditampilkan di blognya Efri S. Bahri oleh si empunya blog, 2004.