Oleh: Ahmad Ali MD
Negeri kita adalah negeri --yang
berpenduduk mayoritas-- muslim, namun juga banyak koruptornya. Apakah
dalam Islam tidak ada unsur-unsur revolusioner termasuk terhadap masalah
korupsi, sehingga umatnya di negeri ini penuh dengan korupsiisme.
Jawaban atas pertanyaan ini penting diajukan karena seringkali perilaku
umat Islam tidak sesuai dengan ajaran agama (Islam) dan bahkan agama
dijadikan sasaran "kambing hitam" atau momok atas suatu
kemajuan/modernisasi.
Jawaban terhadap pertanyan
di atas dapat dilakukan dengan pendekatan historis. Sebelum menjawab
pertanyaan tersebut, perlu diperhatikan kembali pengertian revolusi itu
sendiri dan perbedaannya dengan kekerasan (violence). Revolusi
(pembebasan) berbeda dengan kekerasan. Revolusi merupakan cara dalam
mempertahankan dan merebut sesuatu hak dari suatu kezaliman, meskipun
terjadi suatu tindak kekerasan, pengrusakan. Pengrusakan atau kekerasan
yang terjadi semacam ini bukan suatu tujuan dan tidak dapat dinamakan
sebagai kekerasan. Sedangkan kekerasan adalah bentuk kejahatan terhadap
orang atau pihak lain, tanpa suatu alasan yang sah. (Lih. Hassan Hanafi, Agama dan Kekerasan, Jendela Pustaka, 2001).
Bahwa salah satu bagian
(kandungan) dalam al-Qur'an adalah perihal kisah (Arab; qishah j.
qashash) para nabi. Jika kita telaah, ternyata agama adalah revolusi itu
sendiri dan para nabi merupakan revolusioner, pembaharu sejati. Nabi
Ibrahim adalah cermin revolusi akal menundukkan tradisi-tradisi buta,
revolusi tauhid melawan berhala-berhala (Q.S. al-Anbiya': 52-71). Musa merefleksikan revolusi pembebasan melawan otoritarianisme (Q.S. al-A'raf:104-124; Thaha: 56-79). Isa adalah contoh revolusi ruh atas dominasi materialisme (Q.S. Alu 'Imran: 50). Dan Muhammad SAW merupakan tauladan bagi kaum papa, hamba agi perubahan sosial (social engineering)
secara total (keseluruhan), terlebih dalam dimensi keyakinan (iman) dan
moralitas (akhlak) manusia. Para nabi merupakan guru besar dan pejuang
nilai-nilai kemanusiaan menuju taraf yang lebih tinggi dan sempurna,
akhir kenabian ditandai bahwa kemanusian telah termanifestasikan menjadi
kemandirian akal (istiqlal al-'aql) dan berkemampuan meningkatkan derajat progresifitasnya sendiri.
Dalam sejarah Islam banyak
dijumpai aneka revolusi sosio-religio-politik, seperti revolusi
Qaramithah dan Mahdiisme di Sudan, Sanusiyah di Libya, al-Isam di
Aljazair, gerakan Abdul Hamid bin Badis, Abdul Qadir al-Maghribi dan
Omar Mukhtar di Afrika Utara, gerakan "Komunitas Islam" di Amerika,
perjuangan Ikhwanul Muslimin di Palestina, revolusi Nasserisme di Mesir
dan sebagainya. Tugas kita saat ini adalah mengapresiasi secara positif
revolusi-revolusi ini dan menggemakan dan membumikan gerakan-gerakan
revolusioner di negara kita khususnya dan dunia pada umumnya.
Dalam menggerakkan kembali
semangat revolusi kita juga dapat mengambil inspirasi dan akarnya dari
revolusi agama-agama lain. Seperti beberapa revolusi yang terjadi dalam
sejarah Yudaisme dan Kristiani; perlawanan Ibnu Uqaibah terhadap Romawi;
pemberontakan petani di Jerman pada abad XVI, Teologi Pembebasan di
Amerika Latin dan revolusi "Gereja Hitam" di Amerika Utara. Disamping
itu, revolusi juga terjadi di luar agama-agama monoteis seperti revolusi
Budhis di Vietnam, revolusi Konfusanisme selama masa-masa "Long March"
di China dan revolusi agama-agama Afrika melawan penjajah Kulit Putih di
Afrika Utara.
Dewasa ini di Barat telah
tumbuh kecenderungan baru dalam teologi yang mengambil "revolusi"
sebagai subyek pembahasan, dan sering disebut dengan "theology of revolution"
yang juga mengandung pengertian "teologi tanah", "teologi pembangunan",
"teologi perubahan sosial", dan "teologi progresif". Dalam peta
pemikiran agama, aliran ini menjadi suatu cabang yang paling penting.
Teologi telah menajdi ilmu tentang rakyat ('ilm al-jamahir); ilmu
tentang gerakan-gerakan kerakyatan di dalam masyarakat tertindas
seperti Afrika, Asia dan Amerika Latin. Kenyataan revolusioner
menampakkan dirinya di mata para teolog dalam komunitas keagamaan,
banyak kemudian yang mengambil "revolusi" itu sebagai subyek studi dan
sekaligus berpartisipasi di dalamnya (Hassan Hanafi, Kiri Islam, LKiS, 1997).
Dengan melihat sisi
historis dan kenyataan di atas, maka dapat dikatakan, bahwa terdapat
pertautan antara agama (Islam) dan revolusi, ada unsur-unsur
revolusioner dalam agama yang dengan kata lain, agama (Islam) adalah
revolusi itu sendiri. Agama menjadi landasan dan revolusi merupakan
tuntutan zaman, sebagaimana para filosof muslim pendahulu kita
mengupayakan pertautan antara filsafat (al-hikmah) yang merupakan
keharusan zaman dengan syari'ah sebagai landasannya. Upaya
mempertautkan agama dan revolusi ini merupakan kerja natural untuk
mengaktualisasikan vitalitas peradaban Islam dan kelangsungannya dalam
sejarah. Oleh karena itu, kerja mempertautkan keduanya (agama dan
revolusi) bukanlah sesuatu yang asing dan latah.
Revolusi yang mesti kita lakukan adalah
revolusi Islam, karena pada hakikatnya revolusi sekuler yang mendasari
gerakan kaum Marxis tersebut adalah bagian dari revolusi Islam yang
merupakan revolusi komprehensif, bersifat kerakyatan dan menyejarah.
Pilihan revolusi Islam dalam merubah krisis multi dimensi yang sedang
melanda di negeri --yang mayoritas-- muslim ini. Semangat revolusi ini
jelas harus ditanamkan dan dipatrikan dalam jiwa setiap individu muslim
dan bangsa Indonesia dalam menuju Indonesia Baru yang lebih baik. Karena
dalam membangun bangsa ini diperlukan kerjasama semua pihak tanpa
diskriminatif terhadap kaum nonmuslim. Indonesia adalah milik kita
bersama, dan revolusi harus disuarakan dan digerakkan. Islam menjadi
ilmu, aksi, tauhid dan kesyahidan (martyrdom).
(Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan keagamaan)
Arsip:
Semula dimuat di HU Pelita, 25 Oktober 2007;
Sumber: http://www.pelita.or.id/baca.php?id=23392
Tidak ada komentar:
Posting Komentar