Rabu, 18 Agustus 2010

Islam dan Semangat Revolusi


Oleh: Ahmad Ali MD

Negeri kita adalah negeri --yang berpenduduk mayoritas-- muslim, namun juga banyak koruptornya. Apakah dalam Islam tidak ada unsur-unsur revolusioner termasuk terhadap masalah korupsi, sehingga umatnya di negeri ini penuh dengan korupsiisme. Jawaban atas pertanyaan ini penting diajukan karena seringkali perilaku umat Islam tidak sesuai dengan ajaran agama (Islam) dan bahkan agama dijadikan sasaran "kambing hitam" atau momok atas suatu kemajuan/modernisasi. 
  
Jawaban terhadap pertanyan di atas dapat dilakukan dengan pendekatan historis. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diperhatikan kembali pengertian revolusi itu sendiri dan perbedaannya dengan kekerasan (violence). Revolusi (pembebasan) berbeda dengan kekerasan. Revolusi merupakan cara dalam mempertahankan dan merebut sesuatu hak dari suatu kezaliman, meskipun terjadi suatu tindak kekerasan, pengrusakan. Pengrusakan atau kekerasan yang terjadi semacam ini bukan suatu tujuan dan tidak dapat dinamakan sebagai kekerasan. Sedangkan kekerasan adalah bentuk kejahatan terhadap orang atau pihak lain, tanpa suatu alasan yang sah. (Lih. Hassan Hanafi, Agama dan Kekerasan, Jendela Pustaka, 2001).

Bahwa salah satu bagian (kandungan) dalam al-Qur'an adalah perihal kisah (Arab; qishah j. qashash) para nabi. Jika kita telaah, ternyata agama adalah revolusi itu sendiri dan para nabi merupakan revolusioner, pembaharu sejati. Nabi Ibrahim adalah cermin revolusi akal menundukkan tradisi-tradisi buta, revolusi tauhid melawan berhala-berhala (Q.S. al-Anbiya': 52-71). Musa merefleksikan revolusi pembebasan melawan otoritarianisme (Q.S. al-A'raf:104-124; Thaha: 56-79). Isa adalah contoh revolusi ruh atas dominasi materialisme (Q.S. Alu 'Imran: 50). Dan Muhammad SAW merupakan tauladan bagi kaum papa, hamba agi perubahan sosial (social engineering) secara total (keseluruhan), terlebih dalam dimensi keyakinan (iman) dan moralitas (akhlak) manusia. Para nabi merupakan guru besar dan pejuang nilai-nilai kemanusiaan menuju taraf yang lebih tinggi dan sempurna, akhir kenabian ditandai bahwa kemanusian telah termanifestasikan menjadi kemandirian akal (istiqlal al-'aql) dan berkemampuan meningkatkan derajat progresifitasnya sendiri.
 
Dalam sejarah Islam banyak dijumpai aneka revolusi sosio-religio-politik, seperti revolusi Qaramithah dan Mahdiisme di Sudan, Sanusiyah di Libya, al-Isam di Aljazair, gerakan Abdul Hamid bin Badis, Abdul Qadir al-Maghribi dan Omar Mukhtar di Afrika Utara, gerakan "Komunitas Islam" di Amerika, perjuangan Ikhwanul Muslimin di Palestina, revolusi Nasserisme di Mesir dan sebagainya. Tugas kita saat ini adalah mengapresiasi secara positif revolusi-revolusi ini dan menggemakan dan membumikan gerakan-gerakan revolusioner di negara kita khususnya dan dunia pada umumnya. 

Dalam menggerakkan kembali semangat revolusi kita juga dapat mengambil inspirasi dan akarnya dari revolusi agama-agama lain. Seperti beberapa revolusi yang terjadi dalam sejarah Yudaisme dan Kristiani; perlawanan Ibnu Uqaibah terhadap Romawi; pemberontakan petani di Jerman pada abad XVI, Teologi Pembebasan di Amerika Latin dan revolusi "Gereja Hitam" di Amerika Utara. Disamping itu, revolusi juga terjadi di luar agama-agama monoteis seperti revolusi Budhis di Vietnam, revolusi Konfusanisme selama masa-masa "Long March" di China dan revolusi agama-agama Afrika melawan penjajah Kulit Putih di Afrika Utara.

Dewasa ini di Barat telah tumbuh kecenderungan baru dalam teologi yang mengambil "revolusi" sebagai subyek pembahasan, dan sering disebut dengan "theology of revolution" yang juga mengandung pengertian "teologi tanah", "teologi pembangunan", "teologi perubahan sosial", dan "teologi progresif". Dalam peta pemikiran agama, aliran ini menjadi suatu cabang yang paling penting. Teologi telah menajdi ilmu tentang rakyat ('ilm al-jamahir); ilmu tentang gerakan-gerakan kerakyatan di dalam masyarakat tertindas seperti Afrika, Asia dan Amerika Latin. Kenyataan revolusioner menampakkan dirinya di mata para teolog dalam komunitas keagamaan, banyak kemudian yang mengambil "revolusi" itu sebagai subyek studi dan sekaligus berpartisipasi di dalamnya (Hassan Hanafi, Kiri Islam, LKiS, 1997).

Dengan melihat sisi historis dan kenyataan di atas, maka dapat dikatakan, bahwa terdapat pertautan antara agama (Islam) dan revolusi, ada unsur-unsur revolusioner dalam agama yang dengan kata lain, agama (Islam) adalah revolusi itu sendiri. Agama menjadi landasan dan revolusi merupakan tuntutan zaman, sebagaimana para filosof muslim pendahulu kita mengupayakan pertautan antara filsafat (al-hikmah) yang merupakan keharusan zaman dengan syari'ah sebagai landasannya. Upaya mempertautkan agama dan revolusi ini merupakan kerja natural untuk mengaktualisasikan vitalitas peradaban Islam dan kelangsungannya dalam sejarah. Oleh karena itu, kerja mempertautkan keduanya (agama dan revolusi) bukanlah sesuatu yang asing dan latah.

Revolusi yang mesti kita lakukan adalah revolusi Islam, karena pada hakikatnya revolusi sekuler yang mendasari gerakan kaum Marxis tersebut adalah bagian dari revolusi Islam yang merupakan revolusi komprehensif, bersifat kerakyatan dan menyejarah. Pilihan revolusi Islam dalam merubah krisis multi dimensi yang sedang melanda di negeri --yang mayoritas-- muslim ini. Semangat revolusi ini jelas harus ditanamkan dan dipatrikan dalam jiwa setiap individu muslim dan bangsa Indonesia dalam menuju Indonesia Baru yang lebih baik. Karena dalam membangun bangsa ini diperlukan kerjasama semua pihak tanpa diskriminatif terhadap kaum nonmuslim. Indonesia adalah milik kita bersama, dan revolusi harus disuarakan dan digerakkan. Islam menjadi ilmu, aksi, tauhid dan kesyahidan (martyrdom).
(Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan keagamaan)


Arsip:
Semula dimuat di HU Pelita, 25 Oktober 2007; 
Sumber: http://www.pelita.or.id/baca.php?id=23392

Tidak ada komentar:

Posting Komentar