Kamis, 16 September 2010

Menjauhkan Agama dari Kekerasan

Oleh Ahmad Ali MD

Kekerasan terjadi di mana-mana, terorisme berupa aksi pengeboman setiap tahun terjadi di Tanah Air sejak tragedi Bali pada tahun 2002 yang menewaskan sekitar 202 orang dan mencederakan 209  orang, hingga bom di Hotel JW. Marriot dan Hotel Ritz Carlton Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan pada 2009, dst. Peristiwa semacam ini masih menghantui kita: perusakan tempat-tempat maksiat, terutama menjelang dan dalam bulan Ramadhan oleh sekelompok orang yang biasanya mengatasnamakan FPI (Front Pembela Islam), kekerasan terhadap para aktivis HAM (hak asasi manusia), seperti yang pernah terjadi dalam kasus Monas, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, baik yang dilakukan oleh majikan pada pembantunya, suami pada isterinya atau sebaliknya, maupun penelantaran anak oleh orangtuanya.Bahkan yang terkini, kasus penusukan terhadap pendeta HKBP Bekasi beberapa waktu lalu, yang dilakukan oleh "oknum", entah apapun motifnya. 

Anehnya, kekerasan semacam itu, didasarkan pada agama: mencari legitimasi pembenaran agama melalui teks-teks —kitab— keagamaan. Misalnya, terorisme dalam bentuk pengeboman dimaksudkan sebagai bentuk jihad; perusakan tempat-tempat maksiat dimaksudkan sebagai pelaksanaan perintah nahy ‘anil munkar (mencegah kemungkaran). Padahal dalam konteks nation-state seperti Indonesia, yang berhak bertindak tegas adalah negara. Tentu ini pun dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, misalnya untuk menjaga disintegrasi bangsa, menumpas pemberontakan setelah adanya ajakan dialog intensif.

Memang ironis terjadi di negeri yang berpedoman pada sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kekerasan bukanlah bagian dari aksi kemanusiaan dan keadaban, tapi merupakan aksi kebiadaban. Padahal kita percaya agama mengajarkan kedamaian dan keselamatan bagi manusia. Islam membawa misi rahmatan lil ‘alamin (menebarkan kedamaian dan ketenteraman bagi semesta alam); dan Kristen menekankan ajaran kasih sayang kepada sesama. Namun agama ternyata telah seringkali disimpangkan dan diselewengkan oleh manusia.

Mengapa agama disalahgunakan? Charles Kimball, Guru Besar Studi Agama di Universitas Wake Forest, AS dalam bukunya Kala Agama Jadi Bencana (2004), seolah mewakili kecemasan umat manusia akan potensi penyalahgunaan agama tersebut. Ia memetakan secara apik beragam potensi dan asal-usul kekerasan yang dimiliki setiap agama, sembari tak lupa mengguratkan pelbagai kemungkinan perbaikan yang mendukung kembalinya khittah agama sebagai penebar cinta, kasih sayang dan perdamaian antarsesama.

Lima Tanda Penyimpangan
Menurutnya, untuk melihat tanda-tanda penyelewengan manusia atas agama yang menyebabkan bencana kemanusiaan itu, klaim kebenaran agama (truth claim) secara berlebihan yang diteriakkan pemeluk agama harus ditempatkan sebagai penyebab utama dan jadi titik awal kajian tentang praktik pengingkaran manusia atas kesucian agama. Padahal agama mempunyai nilai-nilai yang suci atau universal, seperti kemanusiaan, keberadaban dan perdamaian. Menurutnya ada lima tanda penting penyimpangan atas agama sebagai berikut:

Pertama, pemutlakan kebenaran tersebut disangga oleh pendekatan harfiah (literal) dalam memahami teks-teks kitab suci yang membuka celah bagi penyalahgunaannya. Pendekatan harfiah itu pula yang mendorong kian menyeruaknya tafsir monoponik yang memonopoli kebenaran dan ujung-ujungnya jadi sarana justifikasi teologis bagi praktik pengafiran serta penyingkiran siapa pun yang memiliki tafsir keagamaan yang berbeda.

”Bahkan iblis pun dapat mengutip ayat demi mencapai segala tujuannya,” kata Shakespeare sebagaimana dirujuk Kimball dalam bukunya tersebut terasa begitu mengena. Padahal, seperti dinyatakan Robert Alter, pakar kajian Yahudi dan sastra perbandingan, dalam tradisi keagamaan Yahudi, misalnya, ”makna bukanlah milik teks, melainkan sesuatu yang harus selalu dikaji dan terus-menerus dicari dan didefinisikan ulang” (Damanhuri, 2004).

Kedua, kepatuhan dan taklid buta kepada pemimpin agama dengan konsekuensi diringkusnya kebebasan intelektual serta absennya integritas individu menjadi sekadar pengabdian total pada otoritas pemimpin karismatik. Sekte-sekte dan kultus keagamaan ala Aum Shinrikyo (Jepang) atau People Temple (AS) menyodorkan manifestasinya yang paling tegas.

Ketiga, kerinduan akan zaman ideal yang benar-benar tanpa cacat dan berbeda dari zaman yang tengah dilalui —sembari berupaya keras untuk merealisasikannya sepersis mungkin seperti apa yang dikabarkan kitab suci— hal ini kini malah mendistorsikan agama itu sendiri. Cita-cita tentang zaman ideal tersebut, menurut Kimball, biasanya bermetamorfosis dalam keinginan yang menggebu untuk menegakkan negara-agama (teokrasi).

Keempat, adanya usaha untuk melestarikan praktik ”tujuan menghalalkan segala cara”. Machiavelisme keagamaan ini di antaranya mewujud ketika upaya memancangkan identitas kelompok sendiri harus diikuti cara-cara yang mendehumanisasikan siapa pun yang berada di luar komunitasnya, misalnya peristiwa Holocaust yang memusnahkan sekitar enam juta kaum Yahudi.

Kelima, adalah diteriakkannya seruan perang suci atau jihad sebagai tugas mulia yang wajib dilakukan.

Paradigma Baru ”Dakwah Humanis”
Dengan mendedah dan memetakan lima bentuk patologi keagamaan di atas, menurut Kimball, tak harus dimaknai telah habisnya unsur-unsur korektif dalam agama. Sebab, menurutnya, bila ditelusuri dengan jernih, antidot bagi kekerasan dan ekstremisme keagamaan itu sebenarnya telah tersedia dalam semua tradisi keagamaan.

Kita sebenarnya masih bisa berharap akan munculnya agama yang mengibarkan panji kemanusiaan universal. Bagaimana agar agama tidak dikorupsi/disimpangkan?

Untuk menghalau tendensi koruptif atau manipulatif dalam beragama dan melempangkan serta menebarkan upaya terciptanya kedamaian dan persaudaraan antariman/persaudaraan kemanusiaan itu, dibutuhkan sebuah paradigma baru: ”cara menjalani kehidupan partikular di tengah pluralisme” yakni aktualisasi keberagamaan kita melalui ”dakwah humanis”. Sebab, saat ini rasa-rasanya hampir mustahil bisa menolak kesalingtergantungan (dependensi) antaragama. Sama mustahilnya mengangankan untuk bisa hidup dalam atribut identitas sosial-budaya yang monolitik (tunggal).

”Dakwah humanis” ini sangat mendesak untuk segera dan selalu dilakukan oleh agama-agama (para tokoh dan pemimpin agama). Mendeklarasikan ”dakwah humanis” dan emansipatif yakni mengajak diri sendiri dan publik untuk memegang teguh nilai-nilai universal agama: kasih sayang, kedamaian, pluralitas, solidaritas sosial, keadilan, dan kesejahteraan manusia. Juga menghindarkan tindakan provokatif, aksi teror dan kekerasan yang mengatasnamakan agama: jihad atau perang suci. 

-------------
Arsip

Versi awal telah dimuat di HU Sinar Harapan, 3 November 2004, h. 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar