Rabu, 25 Agustus 2010

Al-Qur’an Sumber Segala Ilmu

Oleh Ahmad Ali MD 

Jamaah Shalat tarawih yang semoga dimuliakan Allah.

al-Qur’an kitab suci umat Islam diturunkan pada bulan suci Ramadhan, pada suatu malam yang diberkati, yang di dalamnya terdapat malam Lailat al-Qadar, yang lebih baik dari seribu bulan. Menurut riwayat yang shahîh, al-Qur’an diturunkan keseluruhan dalam sekali waktu (daf`atan wâhidatan, jumlatan wâhidatan) dari Lauh al-Mahfûzh ke Bait al-`Izzah langit dunia ini. Kemudian al-Qur’an diturunkan secara bertahap (munajjaman, mufarraqatan) selama kurun waktu 23 (dua puluh tiga) tahun. Awal turunnya al-Qur’an yang kemudian diperingati sebagai malam Nuzûl al-Qur’an adalah malam ke-17 bulan Ramadhân, di mana ayat pertama kali diterima Nabi adalah surat al-`Alaq, Iqra’… 

Al-Qur’an secara garis besar berisi 3 (tiga) ajaran pokok, yaitu ajaran tentang akidah (keimanan), hukum, dan akhlak. 

Terhadap al-Qur’an ini ada 3 (tiga) respons atau sikap umat Islam yang menunjukkan tingkat keimanan mereka. Pertama, orang beriman yang masih zalim kepada dirinya sendiri dengan banyak berbuat dosa; kedua, orang beriman yang sedang atau menengah dalam berbuat kebaikan; dan ketiga, orang beriman yang cepat dan bergagas menuju kepada berbagai kebaikan. Demikian ini sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Fâthir/35: 32.

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَالْفَضْلُ الْكَبِيرُ

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.

Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya, dan pertengahan ialah orang-orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan. 

Menurut Kitab Suci al-Qur’an, peningkatan dari suatu jenjang ke jenjang itu adalah melalui karunia ilmu, sebagai penunjang atau pelengkap bagi iman. Dan di sini ilmu yang dimaksud adalah ilmu dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk, sudah tentu, ilmu tentang ajaran agama itu sendiri. Hal ini tentu saja sangatlah logis, karena iman tanpa pengetahuan tentang apa yang diimani tentu akan menghasilkan keimanan yang berkualitas rendah, disebabkan oleh rendahnya keinsafan akan makna Pesan Ilahi dalam agama. Setiap orang yang beriman wajib meningkatkan mutu keimanannya dengan cara terus menerus belajar dan menambah pengetahuan. Dengan ilmu yang dilandasi oleh iman itu kesadaran terhadap apa yang baik dan yang buruk akan menjadi semakin meningkat, sehingga setiap kali ia berbuat sesuatu yang tidak benar ia akan cepat insaf, menyadari, dan kembali kepada jalan yang diridhai Allah. Oleh karena itulah, sejalan dengan firman Allah yang dikutip di atas, maka dapat ditegaskan bahwa semakin mendalam ilmu seseorang yang beriman, maka semakin pula ia mendapatkan kebaikan dari Allah. Sebab ilmu yang diterangi iman itu akan menjadi pangkal kearifan (hikmah, wisdom). Demikian sejalan dengan firman Allah:

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ  وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا  وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ

Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (QS. Al-Baqarah; 269).

Jadi, ilmu bagi seorang yang beriman akan memberi manfaat peningkatan atau pendidikan (dalam bahasa Arab disebut tarbiyyah, yang bermakna peningkatan), yang meningkatkan kualitas keimanan dari suatu jenjang ke jenjang yang lebih tinggi. Oleh karena itulah, tujuan ilmu adalah untuk beribadah kepada Allah `Azza wa Jalla. Konsekuensinya adalah agar senantiasa kita terus menerus menuntut ilmu, baik ilmu yang, oleh Imam al-Ghazâlî, disebut sebagai ilmu syar`î, maupun ilmu non syar`î, dengan semakin banyak ilmu pengetahuan yang kita miliki, maka semakin besar dan luas pula kesempatan kita beribadah kepada Allah. Sebab semua aktivitas kehidupan kita bisa bernilai ibadah, jika dilandasi oleh keimanan, dan ilmu pengetahuan yang membawa maslahat (kemanfaatan, kebaikan). 

Momentum Ramadhan ini kita harapkan dapat menjadi cambuk motivator yang mengingatkan kita agar kita menyadari posisi dan level keberagamaan kita: apakah kita termasuk golongan yang zalim terhadap diri kita (zhâlimun linafsih), ataukah yang pertengahan dalam berbuat kebaikan (muqtashid), atau apakah kita tergolong yang berlomba-lomba dalam kebaikan (sâbiqun bi al-khairât). Dengan bermuhâsabah, introspeksi itu, kita akan tergerak untuk menjadi yang terbaik, menjadi yang terdepan, sesuai dengan apa yang diajarkan al-Qur’an, agar kita sebagai umat Islam menjadi umat yang terbaik (khaira ummah) yang dilahirkan untuk umat manusia, yang menyeru kepada kebaikan (ta’murûna bi al-ma`rûf), dan mencegah dari kemungkaran (wa tanhauna `an al-munkar). (Baca QS. Ali `Imrân [3]: 110). 

Keterangan dari Berbagai Sumber.

Disampaikan pada malam ke-16 Ramadhan 1431 H./25 Agustus 2010 di Mushalla Dârussalam Pabuaran Karawaci Kota Tangerang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar