Minggu, 05 September 2010

Hifzh al-Maal: Uang Tuhan untuk Rakyat Miskin

Oleh Ahmad Ali MD
Pemeliharan harta benda (hifzh al-maal) merupakan satu butir penting di antara lima tujuan syariat (al-maqaashid al-khamsah). Yang dimaksudkan hifzh al-maal, meliputi: sub sistem penyediaan dana, seperti zakat, wakaf dan baitul mal; sub sistem pemilikan; dan sub sistem pemanfaatan atau pendistribusian harta (al-mashaarif, tasharruf al-maal). Bahwa dalam ajaran Islam, harta harus dihasilkan dari jalan yang halal dan baik (halaalan thayyiban). Jalan kepemilikan harta yang tidak baik, seperti melalui korupsi, riba, berjudi, menipu, menyopet dan sebagainya harus dijauhi. 

Harta juga harus diberikan pada dan dengan jalan yang baik pula, seperti untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, meningkat kualitas pendidikan, pemberdayaan ekonomi umat, pelatihan jurnalistik, dst. Dengan cara yang baik, maksudnya bukan untuk riyaa’ atau sum’ah (dipublikasikan) agar mendapatkan pujian atau menjadi tenar.

Tasharruf al-maal menjadi fokus perhatian Islam. Bahwa sejak semula Islam memandang harta haruslah memiliki fungsi sosial. Kapitalisme bukanlah ajaran dasar Islam. Karena Islam menekankan konsep keadilan yang menghendaki tidak bertumpuknya kekayaan pada segolongan orang semata, sehingga memperlebar jurang kemiskinan dan kesenjangan sosial (QS. al-Hasyr: 7). 

Sikap yang dituntut sebagai pemeluk yang taat adalah memerangi kekikiran dan berperilaku sebagai dermawan (QS. al-Ma’un: 1-3). Perlu dicamkan, "Tanpa tindakan-tindakan kasih dan dermawan yang dilakukan karena dorongan agama, tatanan sosial Islam akan hancur, sebab di banyak tempat di dunia Islam, pemerintah tidak cukup kuat atau cukup kaya untuk memenuhi kebutuhan minimum seluruh warga mereka.” (Sayyed Hosein Nasr). 

Nilai kedermawanan di atas bahkan melekat pada ciri-ciri orang yang beriman (QS. al-Baqarah: 3-4). Maka sangat memalukan sebagai penganut Islam tidak memerangi monopoli ekonomi yang pada dasarnya adalah penumpukan kekayaan secara berlebihan. Takwa itu bukan semata-mata kepercayaan akan keberadaan Allah, tapi juga sebuah keberimanan yang berfungsi sebagai transformasi sosial, pembebas dan pembela bagi manusia yang tertindas (al-mustadh’afiin).

Sistem yang tidak adil dan korup mengakibatkan kesenjangan dan kemiskinan. Dalam al-Quran tidak dibedakan antara mereka yang penindas dan tertindas, dalam tanggungjawab atas sistem yang tidak adil ini. Penindas bersalah karena arogansinya, kekayaannya, dan kekuasaannya. Al-mustadh’afiin bersalah karena menerima penindasan itu dengan tidak melakukan perlawanan. Dengan begitu, penindas secara leluasa melanjutkan penindasannya dan orang-orang yang ditindas tidak bangkit dan menumbangkan sistem yang korup. Para penguasa bebas merancang, merekayasa, mendesain berbagai peristiwa, untuk menipu kaum mustadh’afiin. Pada gilirannya kaum mustadh'afiin tidak pernah mau berpikir kritis, dengan digiring ke dalam rekayasa para penindas (Jalaluddin Rahmat dalam Eko Prasetyo: 2004). 

Untuk itulah Islam diturunkan, memerangi kaum kapitalis/borjuis yang tidak adil dan memihak sepenuhnya pada kaum miskin. Benarlah seperti yang dikatakan Dr. Thaha Husain, jika Muhammad saw. hanya mengajarkan ke-esaan Tuhan tanpa menyerang tatanan ekonomi yang pincang, perbedaan sistem sosial dan tidak melarang riba secara keras, bisa jadi suku Quraisy akan menerima dengan mudah Islam. Perlambang yang tepat untuk melukiskan itu semua dalam Islam tertuang pada kata “kitab” yang menjadi simbol kebudayaan intelektual dan pendidikan; “neraca” lambang persamaan, kebenaran dan keadilan; lalu “besi” lambang kekuatan material, seperti peradaban industri, kekuatan militer—dalam mempertahankan eksistensi kedaulatan negara, kekuatan individu dan sosial. 

Fungsi sosial dari pemilikan dalam Islam bukan hanya agar tidak menimbulkan kerugian baik yang dirasakan oleh individu maupun orang banyak, tetapi lebih dari itu, hak milik pun harus bersifat aktif dan produktif. Artinya, pemilik harus membiarkan dan mengizinkan orang lain memanfaatkan miliknya, sepanjang tidak merugikan kepentingannya, bahkan memberikan kemanfataan yang lebih besar (mashlahah al-‘ammah, mashlahah al-mujtama’). 

Mengenai tasharruf al-maal li mashlahah al-mujtama’, Islam telah mengatur berbagai jalannya melalui zakat, infaq, shadaqah (ZIS). Dalam hal tanggungjawab distribusi harta untuk orang yang lemah, terdapat tiga tingkat. Tingkat pertama di kalangan sesama anggota keluarga. Tingkat kedua, dalam tingkat kampung, desa/kelurahan dan kota. Ketiga pada tingkat negara harus dipenuhi oleh pemerintah. Pemerintah bertanggungjawab bagi “kesejahteraan umum” (UUD 1945), terutama kaum lemah yaitu dengan menarik zakat, pajak dan semacamnya yang kemudian didistribusikan kepada mereka (Abu Zahrah: 1991). 

Karenanya, pemerintah dan DPR, DPD maupun DPRD harus betul-betul memperhatikan perihal anggaran. APBN/APBD harus betul-betul dialokasikan untuk kebutuhan dan kepentingan warga, terutama yang lemah.
Pendistribusian harta bukan sekedar bagi-bagi saja, tetapi harus mengupa-yakan terciptanya pember-dayaan ekonomi dhuafaa’. Program pemberdayaan ini semestinya dilakukan oleh pemerintah dan Lembaga Pengelola Zakat (LPZ). 

Lima hal yang hendaknya dicapai dari program pemberdayaan di atas (Efri S. Bahri: 2004). Pertama, mengubah mustahik menjadi muzaki. Untuk mencapainya, perlu adanya tools (perangkat/alat) yang mampu memberdayakan mustahik. Tools itu mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian serta evaluasi program. Sehingga alokasi dana untuk mustahik, bukan sekadar bagi-bagi, namun mampu menjadi aset produktif. Makin tinggi produktivitas mustahik makin besar pula tingkat keberhasilan suatu LPZ. Keberhasilan para mustahik tentu juga akan meningkatkan jumlah para muzaki. Sehingga semakin banyak pula mustahik lain yang tertangani. 

Kedua, meningkatkan harkat hidup mustahik. Hal yang dilakukan adalah mengangkat dan memulihkan motivasi dan kesadaran mustahik untuk terus bangkit dari kondisi yang mendera, memberontak pada ketidakadilan dan sistem yang korup. Karena dengan motivasi hidup menjadi makin bergairah, pikiran makin terbuka, hati menjadi sejuk, hari-hari akan penuh dengan karya. 

Ketiga, menciptakan lapangan pekerjaan. Adanya pekerjaan yang tetap dan memadai akan sangat bermanfaat bagi keluarga mustahik. 

Keempat, meningkatkan tali persaudaraan sesama “pengusaha” penerima dana ZIS. Makin kuat persaudaraan akan membentangkan pergaulan diharapkan makin banyak pula alternatif yang diraih guna mengubah kondisi menjadi lebih baik. 

Kelima, adanya perubahan pola pikir dan pola hidup yang lebih pro-duktif. Hal ini dapat dicapai dengan adanya pelatihan peningkatan motivasi, tausiah konsep hidup produktif secara Islami, perencanaan keuangan keluarga, serta berkunjung ke lokasi-lokasi produktif. 

Oleh karena itu, pemerintah maupun LPZ perlu menerapkan prinsip, kemandirian bagi masyarakat, profesionalisme manajerial dan pengawasan terhadap lembaga mitra LPZ. Bentuk pengelolaan program dilakukan baik secara langsung, yakni dikelola oleh lembaga ekonomi, dimana LPZ terlibat dalam permodalan dan kepemilikan, baik secara keseluruhan atau sebagian, dan dapat terlibat dalam manajemen operasinya; maupun secara tidak langsung, yakni dimana pihak LPZ terlibat dalam modal penyertaan, tapi bukan penyerta kepemilikan, atau sebatas fungsi lembaga penyandang dana yang memberikan fasilitas bantuan pendanaan, bantuan pinjaman modal. 

Strategi seperti inilah yang perlu dikembangkan lebih serius lagi. Inilah maksud dari hifzh al-maal. Bahwa harta harus dikelola dengan baik agar dapat berfungsi sosial secara maksimal, mensejahterakan rakyat miskin.*
-------------
Arsip
Semula dimuat di Tabloid Jum'at An-Nadhar, P3M Jakarta, kemudian dimuat di www.islamemansipatoris.com (almarhum), ditampilkan di blognya Efri S. Bahri oleh si empunya blog, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar