Oleh Ahmad Ali MD
Pemeliharan harta benda (hifzh al-maal) merupakan satu butir penting di antara lima tujuan syariat (al-maqaashid al-khamsah).
Yang dimaksudkan hifzh al-maal, meliputi: sub sistem penyediaan dana,
seperti zakat, wakaf dan baitul mal; sub sistem pemilikan; dan sub
sistem pemanfaatan atau pendistribusian harta (al-mashaarif, tasharruf al-maal). Bahwa dalam ajaran Islam, harta harus dihasilkan dari jalan yang halal dan baik (halaalan thayyiban).
Jalan kepemilikan harta yang tidak baik, seperti melalui korupsi, riba,
berjudi, menipu, menyopet dan sebagainya harus dijauhi.
Harta juga harus diberikan pada dan dengan jalan yang baik pula,
seperti untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, meningkat kualitas
pendidikan, pemberdayaan ekonomi umat, pelatihan jurnalistik, dst.
Dengan cara yang baik, maksudnya bukan untuk riyaa’ atau sum’ah (dipublikasikan) agar mendapatkan pujian atau menjadi tenar.
Tasharruf al-maal menjadi fokus perhatian Islam. Bahwa sejak
semula Islam memandang harta haruslah memiliki fungsi sosial.
Kapitalisme bukanlah ajaran dasar Islam. Karena Islam menekankan konsep
keadilan yang menghendaki tidak bertumpuknya kekayaan pada segolongan
orang semata, sehingga memperlebar jurang kemiskinan dan kesenjangan
sosial (QS. al-Hasyr: 7).
Sikap yang dituntut sebagai pemeluk yang taat adalah memerangi
kekikiran dan berperilaku sebagai dermawan (QS. al-Ma’un: 1-3). Perlu
dicamkan, "Tanpa tindakan-tindakan kasih dan dermawan yang
dilakukan karena dorongan agama, tatanan sosial Islam akan hancur,
sebab di banyak tempat di dunia Islam, pemerintah tidak cukup kuat atau
cukup kaya untuk memenuhi kebutuhan minimum seluruh warga mereka.” (Sayyed Hosein Nasr).
Nilai kedermawanan di atas bahkan melekat pada ciri-ciri orang yang
beriman (QS. al-Baqarah: 3-4). Maka sangat memalukan sebagai penganut
Islam tidak memerangi monopoli ekonomi yang pada dasarnya adalah
penumpukan kekayaan secara berlebihan. Takwa itu bukan semata-mata
kepercayaan akan keberadaan Allah, tapi juga sebuah keberimanan yang
berfungsi sebagai transformasi sosial, pembebas dan pembela bagi
manusia yang tertindas (al-mustadh’afiin).
Sistem yang tidak adil dan korup mengakibatkan kesenjangan dan
kemiskinan. Dalam al-Quran tidak dibedakan antara mereka yang penindas
dan tertindas, dalam tanggungjawab atas sistem yang tidak adil ini.
Penindas bersalah karena arogansinya, kekayaannya, dan kekuasaannya. Al-mustadh’afiin
bersalah karena menerima penindasan itu dengan tidak melakukan
perlawanan. Dengan begitu, penindas secara leluasa melanjutkan
penindasannya dan orang-orang yang ditindas tidak bangkit dan
menumbangkan sistem yang korup. Para penguasa bebas merancang,
merekayasa, mendesain berbagai peristiwa, untuk menipu kaum mustadh’afiin. Pada gilirannya kaum mustadh'afiin
tidak pernah mau berpikir kritis, dengan digiring ke dalam rekayasa
para penindas (Jalaluddin Rahmat dalam Eko Prasetyo: 2004).
Untuk itulah Islam diturunkan, memerangi kaum kapitalis/borjuis yang
tidak adil dan memihak sepenuhnya pada kaum miskin. Benarlah seperti
yang dikatakan Dr. Thaha Husain, jika Muhammad saw. hanya mengajarkan
ke-esaan Tuhan tanpa menyerang tatanan ekonomi yang pincang, perbedaan
sistem sosial dan tidak melarang riba secara keras, bisa jadi suku
Quraisy akan menerima dengan mudah Islam. Perlambang yang tepat untuk
melukiskan itu semua dalam Islam tertuang pada kata “kitab” yang
menjadi simbol kebudayaan intelektual dan pendidikan; “neraca” lambang
persamaan, kebenaran dan keadilan; lalu “besi” lambang kekuatan
material, seperti peradaban industri, kekuatan militer—dalam
mempertahankan eksistensi kedaulatan negara, kekuatan individu dan
sosial.
Fungsi sosial dari pemilikan dalam Islam bukan hanya agar tidak
menimbulkan kerugian baik yang dirasakan oleh individu maupun orang
banyak, tetapi lebih dari itu, hak milik pun harus bersifat aktif dan
produktif. Artinya, pemilik harus membiarkan dan mengizinkan orang lain
memanfaatkan miliknya, sepanjang tidak merugikan kepentingannya, bahkan
memberikan kemanfataan yang lebih besar (mashlahah al-‘ammah, mashlahah al-mujtama’).
Mengenai tasharruf al-maal li mashlahah al-mujtama’, Islam
telah mengatur berbagai jalannya melalui zakat, infaq, shadaqah (ZIS).
Dalam hal tanggungjawab distribusi harta untuk orang yang lemah,
terdapat tiga tingkat. Tingkat pertama di kalangan sesama anggota
keluarga. Tingkat kedua, dalam tingkat kampung, desa/kelurahan dan
kota. Ketiga pada tingkat negara harus dipenuhi oleh pemerintah.
Pemerintah bertanggungjawab bagi “kesejahteraan umum” (UUD 1945),
terutama kaum lemah yaitu dengan menarik zakat, pajak dan semacamnya
yang kemudian didistribusikan kepada mereka (Abu Zahrah: 1991).
Karenanya, pemerintah dan DPR, DPD maupun DPRD harus betul-betul
memperhatikan perihal anggaran. APBN/APBD harus betul-betul
dialokasikan untuk kebutuhan dan kepentingan warga, terutama yang
lemah.
Pendistribusian harta bukan sekedar bagi-bagi saja, tetapi harus
mengupa-yakan terciptanya pember-dayaan ekonomi dhuafaa’. Program
pemberdayaan ini semestinya dilakukan oleh pemerintah dan Lembaga
Pengelola Zakat (LPZ).
Lima hal yang hendaknya dicapai dari program pemberdayaan di atas (Efri S. Bahri: 2004). Pertama, mengubah mustahik menjadi muzaki. Untuk mencapainya, perlu adanya tools
(perangkat/alat) yang mampu memberdayakan mustahik. Tools itu mencakup
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian serta evaluasi
program. Sehingga alokasi dana untuk mustahik, bukan sekadar bagi-bagi,
namun mampu menjadi aset produktif. Makin tinggi produktivitas mustahik
makin besar pula tingkat keberhasilan suatu LPZ. Keberhasilan para
mustahik tentu juga akan meningkatkan jumlah para muzaki. Sehingga
semakin banyak pula mustahik lain yang tertangani.
Kedua, meningkatkan harkat hidup mustahik. Hal yang dilakukan
adalah mengangkat dan memulihkan motivasi dan kesadaran mustahik untuk
terus bangkit dari kondisi yang mendera, memberontak pada ketidakadilan
dan sistem yang korup. Karena dengan motivasi hidup menjadi makin
bergairah, pikiran makin terbuka, hati menjadi sejuk, hari-hari akan
penuh dengan karya.
Ketiga, menciptakan lapangan pekerjaan. Adanya pekerjaan yang tetap dan memadai akan sangat bermanfaat bagi keluarga mustahik.
Keempat, meningkatkan tali persaudaraan sesama “pengusaha”
penerima dana ZIS. Makin kuat persaudaraan akan membentangkan pergaulan
diharapkan makin banyak pula alternatif yang diraih guna mengubah
kondisi menjadi lebih baik.
Kelima, adanya perubahan pola pikir dan pola hidup yang
lebih pro-duktif. Hal ini dapat dicapai dengan adanya pelatihan
peningkatan motivasi, tausiah konsep hidup produktif secara Islami,
perencanaan keuangan keluarga, serta berkunjung ke lokasi-lokasi
produktif.
Oleh karena itu, pemerintah maupun LPZ perlu menerapkan prinsip,
kemandirian bagi masyarakat, profesionalisme manajerial dan pengawasan
terhadap lembaga mitra LPZ. Bentuk pengelolaan program dilakukan baik
secara langsung, yakni dikelola oleh lembaga ekonomi, dimana LPZ
terlibat dalam permodalan dan kepemilikan, baik secara keseluruhan atau
sebagian, dan dapat terlibat dalam manajemen operasinya; maupun secara
tidak langsung, yakni dimana pihak LPZ terlibat dalam modal penyertaan,
tapi bukan penyerta kepemilikan, atau sebatas fungsi lembaga penyandang
dana yang memberikan fasilitas bantuan pendanaan, bantuan pinjaman
modal.
Strategi seperti inilah yang perlu dikembangkan lebih serius lagi. Inilah maksud dari hifzh al-maal. Bahwa harta harus dikelola dengan baik agar dapat berfungsi sosial secara maksimal, mensejahterakan rakyat miskin.*
-------------
Arsip
Semula
dimuat di Tabloid Jum'at An-Nadhar, P3M Jakarta, kemudian dimuat di
www.islamemansipatoris.com (almarhum), ditampilkan di blognya Efri S.
Bahri oleh si empunya blog, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar