Selasa, 21 Desember 2010

Hukum Arisan Qurban dan Akikah

Oleh Ahmad Ali MD
Ini merupakan jawaban untuk saudara Slamet Syakroni, teman facebooker kita yang menanyakan masalah hukum arisan qurban atau akikah.
Hukum qurban dan akikah sudah maklum, yaitu sunnah muakkadah (sangat dianjurkan mengerjakannya). Bahkan Madzhab Hanafiyyah mewajibkan qurban, dalam pengertian meskipun orang yang tidak melakukannya tidaklah berdosa namun, menurut mereka, ia terhalang dari mendapatkan syafaat Nabi Muhammad s.a.w. di akhirat kelak (Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah). Masalahnya bagaimana jika qurban atau akikah itu dari hasil arisan? Dalam hal ini harus dilihat bahwa pada dasarnya arisan hukumnya boleh (jâ’izah/halal). Demikian keterangan dalam Kitab al-Qulyûbî wa ‘Amîrah (II: 258), dan Nihâyat al-Muhtâj (II:211). Pendapat demikian sebagaimana Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-18 di Ponpes Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, 25-28 Nopember 1989 mengenai hukum arisan haji yang jumlah setorannya berubah-ubah, dalam Ahkâm al-Fuqahâ’ Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdhatul Ulama [1926-1999 M.].
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata arisan berarti kegiatan mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yang memperolehnya, undian dilaksanakan dalam sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. Kata arisan jika mendapat imbuhan di awal “be” menjadi berarisan artinya bertemu (berkumpul) secara berkala untuk arisan.
Arisan telah menjadi adat atau tradisi baik di masyarakat kita. Dari sisi ini kaidah al-‘Âdah Muhakkamah, yakni Adat atau tradisi baik yang berlaku di suatu masyarakat itu bisa dijadikan hukum, dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, seperti menghalalkan yang jelas-jelas diharamkan oleh Islam seperti daging babi, judi (maisîr), atau mengharamkan yang jelas-jelas dihalalkan oleh Islam seperti jual beli, nikah, dan pinjam-meminjam atau utang-piutang.
Dilihat dari sisi substansinya, pada hakikatnya arisan merupakan akad `âriyah, yaitu akad pinjam-meminjam, lebih tepatnya akad al-qardh/al-qirâdh (utang-piutang). Dengan demikian uang arisan yang diambil oleh orang yang mendapat atau memenangkan undian itu adalah utangnya pada peserta arisan yang lainnya dalam kelompok arisannya. Selain itu merupakan bentuk akad yang didasarkan pada prinsip ta’âwun (tolong-menolong).  Karena dengan arisan, suatu maksud tertentu, kurban atau akikah misalnya, dapat dicapai dengan cara arisan, meskipun seseorang secara langsung belum mempunyai biaya untuk kurban atau akikah sebelum mememangkan undian arisan tersebut. Dilihat dari sisi lain, arisan juga merupakan bentuk tabungan, di mana cicilan tabungan dalam bentuk setoran atau iuran arisan menjadi tabungan dirinya yang keseluruhannya dapat diambil olehnya ketika mendapatkan giliran atau undian.
Untuk itu, sebagaimana dalam setiap akad, transaksi atau bisnis islami/syar’i, haruslah terpenuhi beberapa kriteria atau prasyarat, yaitu terhindar dari unsur maisîr (judi), ribâ (bunga/kelebihan yang dipersyaratkan), dan gharâr (ketidakjelasan).  Atas dasar ini maka dalam arisan harus dipenuhi unsur keadilan atau kesamaan dalam hal iuran yang dikumpulkan dan keadilan memperoleh undian. Artinya orang yang mendapat undian tidak boleh mengambil undiannya lagi hingga semua peserta arisan itu mendapatkan undian yang sama dan mendapatkan giliran yang sama pula untuk qurban atau akikah dengan uang arisan tersebut.
Terhindar dari unsur riba atau kelebihan atau beban yang dipersyaratkan, maksudnya seseorang anggota arisan hanya mendapatkan jumlah total nilai uang hasil arisan yang terkumpul. Misalnya 20 orang peserta arisan, masing-masing menyetor uang arisan Rp. 20.000,00 sekali dalam seminggu (sebulan 4 x). Dalam arisan pertama terkumpul uang 400 rb. Dalam sebulan uang arisan terkumpul Rp 400.000,- x 4 = Rp 1600.000,-. Undian arisan dilakukan sebulan sekali, maka misalnya ketika A menang undian di akhir bulan (minggu ke-4), sebagai peserta pertama yang memenangkan undian, maka ia mendapatkan uang sebesar Rp. 1.600.000,-, Jadi pada dasarnya sejumlah uang ini merupakan utangnya pada peserta arisan 19 orang selain dirinya. Karena si A  sudah setoran 4 x= 80 rb, berarti utangnya yang harus dibayar melalui arisan kurang 1.520.000,- (76 x). Di samping itu uang sejumlah itu pada dasarnya merupakan tabungan yang diambil di muka, sebelum setorannya mencapai jumlah tersebut. Dalam hitungan matematis, tabungannya akan full sebesar itu bila ia telah setor/iuran arisan itu sebanyak 80 x (20 bulan=1 th 8 bl). Si A tidak boleh terbebani melebihi besaran Rp. 1.600.000,- Kelebihan yang dipersyaratkan merupakan riba. Masing-masing anggota yang 19 orang lainnya itu punya hak sama untuk memperoleh Rp. 1.600.000,-, dan berkesempatan yang sama pula sehingga dapat berkorban atau berakikah dari uang arisan tersebut, dan juga punya kewajiban yang sama iuran sebanyak itu.
Selain itu, harus terhindar dari gharar, maksudnya kegiatan arisan harus jelas mekanismenya, misalnya undian diadakan setelah 1 bulan pertama dan setelah itu setiap pertemuan mingguan secara berkala; uang arisan disetor setiap pertemuan; uang arisan ditujukan untuk sesuatu yang jelas, kurban atau akikah misalnya.
Dengan keterangan ini, diharapkan permasalahan arisan qurban atau akikah tersebut dapat dipahami oleh si penanya dan pembaca yang memerlukannya.
Karawaci, 15 Dzulhijjah 1432 H./21 Desember 2010 M.

Jumat, 03 Desember 2010

HIJRAH, TAHUN BARU DAN BELA NEGARA


HIJRAH, TAHUN BARU
DAN BELA NEGARA

Khutbah Jum’at

Oleh Ust. Ahmad Ali MD, MA
di Masjid Jâmi` al-Arsyad

Paburan Sibang, Pabuaran Karawaci
Kota Tangerang Banten
26 Dzulhijjah 1431 H.
3 Desember 2010 M.



Khutbah Pertama

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


الحمد لله الواحد القهار، العزيز الغفار، مكور الليل على النهار، تذكرة لأولى القلوب والأبصار، وتبصرة لذوي الألباب والإعتبار. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله  سيد الخلائق والبشر. أللهم صل وسلم على سيدنا محمد وأله وصحبه الأطهار. أما بعد.
فياأيها المسلمون! أوصيكم ونفسي بتقوى الله وطاعته فقد فاز من اتقى. فقال الله تعالى في كتابه الكريم في سورة البقرة: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم،
 
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللهِ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ .


          Hijrah, Tahun Baru dan Bela Negara
Ma`âsyiral Muslimîn Rahimakumullâh
Pada kesempatan yang mulia ini marilah kita tingkatkan kualitas keimanan kita untuk menjadi pribadi-pribadi yang berhijrah, yakni berpindah dari segala kerendahan kepada keluhuran, dari kebodohan kepada kealiman, dari kemaksiatan kepada ketaatan, dan dari kedurhakaan kepada ketakwaan.
Sebentar lagi, di Bulan Desember ini, kita akan memasuki tahun baru Hijriah 1432, yang kemudian pula akan disusul dengan tahun baru Masehi 2011. Tidak terasa kita bertambah umur semakin tua pada satu sisi, dan berkurang jatah umur kita pada sisi yang lain.
Tahun hijriyah adalah sistem kalender atau penanggalan Islam, dimulai dengan Bulan Muharram, yang dibuat pada masa Khalifah ‘Umar bin al-Khattab, menandai peristiwa hijrahnya Nabi SAW dari Makkah ke Yasrib-Madinah. Dari peristiwa sejarah ini kita diingatkan pada suatu peristiwa yang monumental, yaitu perjalanan hijrahnya Nabi, kiprah dan peran beliau dalam meletakkan dasar-dasar kehidupan ber-masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang populer dengan sebutan Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah.
Di tempat transitnya, sebelum sampai di Madinah, di Qubâ’ Nabi membangun Masjid Qubâ’, dan ketika sampai di Yasrib-Madinah, pun beliau juga membangun masjid yang dikenal dengan Masjid al-Nabawî. Dari sini jelas, bahwa pertama-tama yang diajarkan Nabi adalah tauhîd disertai dengan membangun sarana dan juga simbol tauhîd, kesatuan dan persatuan untuk beribadah dan bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, bukan semata-mata individual namun justeru secara berjamaah (kolektifitas). Hal itu sesuai dengan penegasan surat al-Taubah ayat 108:

.... لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه ...
 ”….Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang (beribadah) di dalamnya...” (QS. al-Taubah: 108)
Masjid, sejak masa Nabi dan hingga kini, bagi umat Islam mempunyai kedudukan dan peran yang istimewa dalam berbagai aspek kehidupan. Namun saat ini kedudukan masjid di tanah air, pada umumnya, lebih sebagai sebuah simbol tempat aktivitas ibadah mahdhah, khususnya shalat. Padahal fungsi dan peran masjid bukanlah sekadar itu. Masjid menjadi tempat yang strategis dan demokratis untuk kegiatan yang maslahat. Dikatakan strategis dan demokratis karena semua orang bisa masuk masjid, tanpa ada diskriminasi, seperti sistem penjenjangan atau levelisasi kelas; dari anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua; baik laki-laki maupun perempuan; kaya maupun miskin; dst. Keterbelakangan umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan, salah satu indikatornya, bisa dilihat dari optimal atau tidaknya fungsi dan peran masjid. Justru ironis, jika masjid dijadikan sarana provokasi kemandekan berpikir kreatif yang positif, menyebarkan radikalisme atau premanisme dan terorisme. Dari sini perlu dan penting dilakukan revitalisasi fungsi dan peran masjid dalam konteks kekinian. Revitalisasi peran masjid itu dilakukan dengan cara-cara: pertama, improvisasi model dakwah yang progresif, humanis, dan transformatif. Ini untuk menciptakan suasana yang harmonis, damai antara sesama umat Islam dan dengan umat lainnya. Juga untuk menghadang lajunya premanisme, radikalisme, terorisme, dan kekerasan dalam berbagai bentuknya. Karena ini juga merupakan jihad perdamaian (peaceful jihad). Kedua, meningkatkan peran masjid dalam kerangka meningkatkan kualitas pendidikan umat. Karena dengan pindidikan manusia akan tercerahkan dan terarah jalan kehidupannya. Dan tentunya yang ketiga, meningkatkan dan mengoptimalkan peran masjid sebagai sarana pemberdayaan dan peningkatan kualitas ekonomi umat, khususnya jamaah masjid. Untuk itu perlu diperhatikan kondisi jamaah masjid: bagaimana keadaan pemenuhan kebutuhan pokoknya, masjid bisa menjadi sarana pemberdayaan ekonomi dhu’afâ’ melalui optimalisasi fungsi dan manfaat zakat, infaq dan shadaqah.

Saudara-Saudara Kaum Muslimin Rahimakumullah
Setelah diawali dengan membangun masjid, di Madinah, tempat hijrah Nabi,  kemudian beliau membangun sebuah Negara Islam berdaulat zaman itu. Dalam membangun Madinah beliau membuat Piagam Madinah. Yaitu sebuah perjanjian tertulis antara Nabi dengan penduduk Madinah yang beragam background dan agamanya dalam kerangka membangun dan menjaga Negara Madinah. Kemudian Madinah menjadi tempat terpeliharanya keragaman atau masyarakat majemuk (pluralis), yang dipersatukan dengan Piagam Madinah.
Secara singkat, Piagam Madinah itu memuat dasar-dasar dan prinsip-prinsip hidup bermasyarakat dan bernegara, yang berisi dua hal pokok. Pertama, umat Islam, baik imigran (muhâjirûn) maupun penduduk pribumi (anshâr), yang terdiri dari berbagai suku, adalah satu umat, satu komunitas (ummatan wâhidah), sehingga mereka harus bersatu.
Kedua, sesama muslim dan hubungan antara komunitas Islam dan komunitas lain berdiri di atas lima prinsip: (1) bertetangga dengan baik; (2) satu sama lain saling membantu, termasuk dalam hal menghadapi musuh bersama; (3) membela mereka yang teraniaya; (4) satu sama lain saling menasihati dalam kebaikan; dan (5) saling menghormati agama masing-masing.
Dalam konteks Indonesia, Piagam Madinah itu telah mengilhami lahirnya Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, sebagaimana yang dirumuskan dalam Piagam Jakarta. Dengan demikian Pancasila adalah selaras dengan ajaran Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam Piagam Madinah.
Piagam Madinah pun saat ini relevan dijadikan pelajaran di tengah-tengah sering terjadinya tindakan premanisme, anarkhisme, perkelahian, dan pertikaian antara kelompok, terorisme dsb. Piagam Madinah juga menjadi relevan dengan butir penting dalam amanat UUD 1945 tentang bela atau pembelaan Negara, yang merupakan upaya membina potensi SDM (sumber daya manusia) agar mampu menjamin kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Kewajiban bela Negara itu sebagaimana tercantum dalam pasal  27 ayat (3): Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” dan pasal 30 UUD 1945: ”Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang”
Yang dimaksud bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya.
Kesadaran bela negara itu hakikatnya merupakan bentuk kesediaan untuk berbakti pada negara dan berkorban membela negara. Spektrum bela negara itu begitu luas, mulai dari yang paling halus, hingga yang paling keras: dari hubungan baik sesama warga negara sampai bersama-sama menangkal ancaman nyata musuh bersenjata. Tercakup di dalamnya adalah bersikap dan berbuat yang terbaik bagi bangsa dan Negara.
Maka dari itu, hijrah, dan tahun baru Hijriyah, mengingatkan kita pada warisan monumental Nabi SAW berupa Piagam Madinah yang hendaknya dapat kita terapkan dalam konteks bela negara, sehingga kita bisa optimis menatap masa depan Indonesia yang lebih cemerlang, maju, dan bermartabat, bahkan di tingkat regional dan global. Amîn. Semoga pula kita menjadi orang yang panjang usianya, panjang umurnya, dan yang baik amal perbuatannya. Amîn.
Sebagai penutup khutbah ini marilah kita ikuti firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab (33) ayat 21:


لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا.

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
بارك الله لي ولكم بالقرءان العظيم ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم  وتقبل الله منا ومنكم تلاوته إنه هو السميع العليم.


 
Khutbah Kedua

الحمد لله، نحمده نستعينه ونستهديه، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، أللهم صل وسلم على سيدنا محمد خير خلقه وأله وصحبه ومن اتبع الإسلام دينا. أما بعد.أيها الناس! أوصيكم ونفسي بتقوى الله وطاعته فقد فاز المتقون.
فقال الله تعالى إرشادا وتعليما.
إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما.
أللهم صل على سيدنا محمد وعلى أل سيدنا محمد كما صليت على سيدنا إبراهم وعلى أل إبراهم، وبارك على سيدنا محمد وعلى أل سيدنا محمد، كما باركت  على سيدنا إبراهم وعلى أل إبراهم في العالمين إنك حميد مجيد.
اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات وارحمهم إنك مجيب الدعوات يا قاضي الحاجات. اللهم أعز الإسلام والمسلمين. اللهم أصلح ولاة المسلمين بما فيه صلاح الإسلام و المسلمين. ربنا أتنا من لدنك رحمة وهيء لنا من أمرنا رشدا. ربنا لاتزغ قلوبنا بعد اذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب. ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما. ربنا أتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار.
 عباد الله إن الله يعمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفخشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون،  فاذكرواالله العظيم يذكركم واشكروه على نعم يزدكم واسئلوا من فضله يعطكم ولذكر الله أكبر. 
-------
Ahmad Ali MD©
Posted on Friday, Dzulhijjah 26, 1431/December 3, 2010