"Refleksi Politik"
Oleh Ahmad Ali MD
Bolehkan berebut untuk menjadi pemimpin? Apakah model perebutan kepemimpinan nasional maupun lokal melalui mekanisme demokrasi sekarang ini sudah sejalan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam? Apakah mekanisme konvensi atau penjaringan pemimpin lebih mendekati prinsip syura? Bisakah bangsa Indonesia, khususnya umat Islam yang mayoritas bermazhab Sunni ini mengambil inspirasi dari konsep "maksum" (kemaksuman) dalam kepemimpinan Syiah? Jika bisa, siapakah yang kira-kira dipandang layak untuk dimohon menerima amanah menjadi pemimpin masa depan (pilplres 2014). Apakah arti maksum dalam konteks modern, dan politik kontemporer? Tentu kemaksuman 100 % bebas tanpa cela sulit atau bahkan mustahil terpenuhi, bukan? Kalau begitu, kemaksuman dapat dimaknai sebagai yg paling bersih, paling sedikit cacat politiknya, catat perilakunya, dan catat kepribadiannya, tentu yg bagus track recordnya. Dan mekanisme survei bisa menjadi alat bantu untuk mencari figur/tokoh yang "maksum". Di sinilah, partai-partai Islam (baik yang simbolis maupun yg substantif) bermusabaqah (berloma-lomba) dalam menjaring figur/tokoh yang "maksum" itu. Jika demikian, maksimal dalam pilpres hanya tiga pasang calon, dan kalau bisa cukuplah dua pasang saja! Pasangan pertama, figur/tokoh yang dihasilkan melalui musyawarah (syura) partai-partai Islam yg diback up ormas-ormas Islam, yg dapat dikatakan sebagai "imam yg maksum" untuk semua yg merasa terwakili aspirasi politik islamnya. Pasangan kedua, figur/tokoh nasionalis, yg merefresentasikan partai nasionalis. Jika ini terjadi, maka seperti peristiwa terpilihnya Presiden Gus Dur (almarhum) pd masa reformasi.
Tampaknya untuk memunculkan dua pasangan seperti itu, pada dasarnya tidaklah sulit, jika didasarkan pada prinsip kepentingan bersama/kemaslahatan yg lebih luas. Namun, karena masing-masing berloma berebut menjadi pemimpin, masing-masing partai mengajukan calonnya, punya kandidat tersendiri, maka prinsip kepentingan bersama/kemaslahatan yg lebih luas terabaikan. Yg ada kepentingan kelompok, utamanya kepentingan parpol tertentu.
Iktibar, dalam kehidupan masyarakat Nahdyidin, pada dasarnya, ada contoh dan teladan yang bisa diambil untuk memilih pemimpin. Menjadi imam shalat berjamaah bukanlah saling berebut, tetapi saling tunjuk satu sama lain. Akhirnya, yang menjadi imam adalah yg dipandang paling "alim", paling baik akhlaknya.
Karawaci, 4 Jumadal Akhir 1434/14 April 2013
Sumber: http://www.facebook.com/ahmadali.muslimdaroini
Oleh Ahmad Ali MD
Bolehkan berebut untuk menjadi pemimpin? Apakah model perebutan kepemimpinan nasional maupun lokal melalui mekanisme demokrasi sekarang ini sudah sejalan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam? Apakah mekanisme konvensi atau penjaringan pemimpin lebih mendekati prinsip syura? Bisakah bangsa Indonesia, khususnya umat Islam yang mayoritas bermazhab Sunni ini mengambil inspirasi dari konsep "maksum" (kemaksuman) dalam kepemimpinan Syiah? Jika bisa, siapakah yang kira-kira dipandang layak untuk dimohon menerima amanah menjadi pemimpin masa depan (pilplres 2014). Apakah arti maksum dalam konteks modern, dan politik kontemporer? Tentu kemaksuman 100 % bebas tanpa cela sulit atau bahkan mustahil terpenuhi, bukan? Kalau begitu, kemaksuman dapat dimaknai sebagai yg paling bersih, paling sedikit cacat politiknya, catat perilakunya, dan catat kepribadiannya, tentu yg bagus track recordnya. Dan mekanisme survei bisa menjadi alat bantu untuk mencari figur/tokoh yang "maksum". Di sinilah, partai-partai Islam (baik yang simbolis maupun yg substantif) bermusabaqah (berloma-lomba) dalam menjaring figur/tokoh yang "maksum" itu. Jika demikian, maksimal dalam pilpres hanya tiga pasang calon, dan kalau bisa cukuplah dua pasang saja! Pasangan pertama, figur/tokoh yang dihasilkan melalui musyawarah (syura) partai-partai Islam yg diback up ormas-ormas Islam, yg dapat dikatakan sebagai "imam yg maksum" untuk semua yg merasa terwakili aspirasi politik islamnya. Pasangan kedua, figur/tokoh nasionalis, yg merefresentasikan partai nasionalis. Jika ini terjadi, maka seperti peristiwa terpilihnya Presiden Gus Dur (almarhum) pd masa reformasi.
Tampaknya untuk memunculkan dua pasangan seperti itu, pada dasarnya tidaklah sulit, jika didasarkan pada prinsip kepentingan bersama/kemaslahatan yg lebih luas. Namun, karena masing-masing berloma berebut menjadi pemimpin, masing-masing partai mengajukan calonnya, punya kandidat tersendiri, maka prinsip kepentingan bersama/kemaslahatan yg lebih luas terabaikan. Yg ada kepentingan kelompok, utamanya kepentingan parpol tertentu.
Iktibar, dalam kehidupan masyarakat Nahdyidin, pada dasarnya, ada contoh dan teladan yang bisa diambil untuk memilih pemimpin. Menjadi imam shalat berjamaah bukanlah saling berebut, tetapi saling tunjuk satu sama lain. Akhirnya, yang menjadi imam adalah yg dipandang paling "alim", paling baik akhlaknya.
Karawaci, 4 Jumadal Akhir 1434/14 April 2013
Sumber: http://www.facebook.com/ahmadali.muslimdaroini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar