Pornografi dan Korupsi
Ahmad Ali MD
(Sumber: Republika, 07 Mei 2012, h. 4).
Pelbagai problem mendera bangsa ini. Mulai dari yang dipandang sepele sampai yang kronis. Bagi sebagian orang, perempuan memakai rok mini, dalam ruang publik, dipandang sebagai gaya hidup (life style), yang merupakan bagian dari hak individu untuk bebas dalam mengenakan busana, bahkan menjadi daya tarik, semacam iklan bagi suatu produk dan program tertentu.
Sementara itu, bagi sebagian yang lain perempuan memakai rok mini tersebut dipandang sebagai pelanggar norma agama dan kesusilaan sehingga harus diatur, dilarang, dan diawasi, bahkan dengan menggunakan satgas atau polisi syariat. Maraknya pelecehan seksual bahkan pemerkosaan, ditengarai, akibat dipicu oleh cara perempuan berbusana, memakai rok mini.
Bangsa Indonesia mempunyai falsafah dan bahkan “way of life” dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, beragama, berbangsa, dan bernegara. Falsafah bangsa kita tiada lain adalah Pancasila. Telah maklum pula sila pertama Pancasila kita adalah Ketuhanan. Dalam kerangka Sila Pertama, Ketuhanan ini, semua tunduk dan harus mengejawantahkannya dalam kehidupan.
Terutama, bagi pemeluk agama, khususnya Islam, Ketuhanan berarti menundukkan diri kepada ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan Ketuhanan itu yang telah dijabarkan ke dalam ajaran agama. Ajaran agama Islam jelas mengatur persoalan bagaimana seseorang berbusana, baik ketika berhu bungan dengan Tuhan, terlebih lagi dalam ranah publik. Ketentuan berbusana itu telah digariskan dalam Islam. Ada batas-batas yang harus dijaga, dengan berbusana yang tepat. Dan, batas-batas itu dikenal sebagai aurat.
Pornografi pun juga telah dilarang agama. Bahkan, di negara kita jelas-jelas pornografi dilarang, berdasarkan UU No 44/2008 tentang Pornografi. UU ini, terlepas dari kekurangannya, dapat dipandang sebagai hukum Islam di bidang pidana, karena memuat ketentuan-ketentuan yang sejalan dengan ajaran Islam dan prinsip-prinsipnya mengenai aurat dan menjaga kemuliaan dan kehormatan (al-karamah) manusia.
Sebagai bukti, Pasal 1 mendefinisikan “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjuk an di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”
Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak. Islam agama yang sesuai dengan fitrah. Seksualitas dipandang positif, diakui sebagai hak atau kebutuhan biologis, tetapi ada rambu-rambu yang harus ditaati dengan penuh kesadaran.
Lebih tegas larangan ditujukan kepada penyedia jasa pornografi. Yaitu segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi (kabel/teresterial), radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lain, surat kabar, majalah, dan barang cetakan lain, baik secara eksplisit maupun tidak langsung yang menunjukkan ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, menyajikan secara eksplisit alat kelamin, mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual, atau menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual (Pasal 4 ayat 2).
Ketentuan ini jelas sejalan dengan ajaran Islam tentang larangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (QS. 5:2). Menyediakan jasa pornografi merupakan bentuk tolongmenolong dalam dosa yang jelas dilarang Islam. Rasul bersabda, “Barang siapa yang mentradisikan suatu tradisi yang buruk maka ia memikul dosa tradisi buruk itu dan dosa orang yang melakukannya hingga kiamat.”
Syekh al-Shawi dalam Hasyiyat al-Shawi (1993, juz II: 75) berkomentar terkait surat al-An‘am ayat 164. “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” Pada dasarnya, setiap orang memikul dosanya sendiri. Tetapi, ia pun akan memikul dosa orang lain karena sebab-musababnya (wasilah dirinya), orang lain itu berbuat dosa.
Korupsi pun begitu membudaya dan menjadi masalah yang sangat akut. Tak kurang dari delapan peraturan perundang-undangan mengatur masalah ini. Bahkan, secara khusus diatur pengadilan khusus, yaitu UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Jadi, tak ada bedanya antara rok mini, pornografi, dan korupsi. Setali tiga uang, sama saja! Semuanya sudah merebak, menyebar, dan membudaya dalam kehidupan kaum Muslimin. Semuanya merusak bangsa dan negara ini. Rok mini dan pornografi merusak moralitas bangsa, dan tentu saja korupsi menghancurkan bangsa. Sungguh pun tingkat dan kadarnya berbeda.
Betapa kita saksikan aturan-aturan hukum telah banyak yang dilanggar. Rok mini, pornografi, dan korupsi semuanya mengorupsi falsafah bangsa, mengorupsi ajaran agama, mengorupsi kemuliaan dan kehormatan manusia. Oleh karena itu, segala yang mengantarkan kepada membudayanya penggunaan rok mini pada ruang publik, pornografi, dan korupsi wajib diberantas. Ini jihad. Tentu dengan cara-cara yang bijaksana.