Selasa, 21 Desember 2010

Hukum Arisan Qurban dan Akikah

Oleh Ahmad Ali MD
Ini merupakan jawaban untuk saudara Slamet Syakroni, teman facebooker kita yang menanyakan masalah hukum arisan qurban atau akikah.
Hukum qurban dan akikah sudah maklum, yaitu sunnah muakkadah (sangat dianjurkan mengerjakannya). Bahkan Madzhab Hanafiyyah mewajibkan qurban, dalam pengertian meskipun orang yang tidak melakukannya tidaklah berdosa namun, menurut mereka, ia terhalang dari mendapatkan syafaat Nabi Muhammad s.a.w. di akhirat kelak (Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah). Masalahnya bagaimana jika qurban atau akikah itu dari hasil arisan? Dalam hal ini harus dilihat bahwa pada dasarnya arisan hukumnya boleh (jâ’izah/halal). Demikian keterangan dalam Kitab al-Qulyûbî wa ‘Amîrah (II: 258), dan Nihâyat al-Muhtâj (II:211). Pendapat demikian sebagaimana Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-18 di Ponpes Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, 25-28 Nopember 1989 mengenai hukum arisan haji yang jumlah setorannya berubah-ubah, dalam Ahkâm al-Fuqahâ’ Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdhatul Ulama [1926-1999 M.].
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata arisan berarti kegiatan mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yang memperolehnya, undian dilaksanakan dalam sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. Kata arisan jika mendapat imbuhan di awal “be” menjadi berarisan artinya bertemu (berkumpul) secara berkala untuk arisan.
Arisan telah menjadi adat atau tradisi baik di masyarakat kita. Dari sisi ini kaidah al-‘Âdah Muhakkamah, yakni Adat atau tradisi baik yang berlaku di suatu masyarakat itu bisa dijadikan hukum, dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, seperti menghalalkan yang jelas-jelas diharamkan oleh Islam seperti daging babi, judi (maisîr), atau mengharamkan yang jelas-jelas dihalalkan oleh Islam seperti jual beli, nikah, dan pinjam-meminjam atau utang-piutang.
Dilihat dari sisi substansinya, pada hakikatnya arisan merupakan akad `âriyah, yaitu akad pinjam-meminjam, lebih tepatnya akad al-qardh/al-qirâdh (utang-piutang). Dengan demikian uang arisan yang diambil oleh orang yang mendapat atau memenangkan undian itu adalah utangnya pada peserta arisan yang lainnya dalam kelompok arisannya. Selain itu merupakan bentuk akad yang didasarkan pada prinsip ta’âwun (tolong-menolong).  Karena dengan arisan, suatu maksud tertentu, kurban atau akikah misalnya, dapat dicapai dengan cara arisan, meskipun seseorang secara langsung belum mempunyai biaya untuk kurban atau akikah sebelum mememangkan undian arisan tersebut. Dilihat dari sisi lain, arisan juga merupakan bentuk tabungan, di mana cicilan tabungan dalam bentuk setoran atau iuran arisan menjadi tabungan dirinya yang keseluruhannya dapat diambil olehnya ketika mendapatkan giliran atau undian.
Untuk itu, sebagaimana dalam setiap akad, transaksi atau bisnis islami/syar’i, haruslah terpenuhi beberapa kriteria atau prasyarat, yaitu terhindar dari unsur maisîr (judi), ribâ (bunga/kelebihan yang dipersyaratkan), dan gharâr (ketidakjelasan).  Atas dasar ini maka dalam arisan harus dipenuhi unsur keadilan atau kesamaan dalam hal iuran yang dikumpulkan dan keadilan memperoleh undian. Artinya orang yang mendapat undian tidak boleh mengambil undiannya lagi hingga semua peserta arisan itu mendapatkan undian yang sama dan mendapatkan giliran yang sama pula untuk qurban atau akikah dengan uang arisan tersebut.
Terhindar dari unsur riba atau kelebihan atau beban yang dipersyaratkan, maksudnya seseorang anggota arisan hanya mendapatkan jumlah total nilai uang hasil arisan yang terkumpul. Misalnya 20 orang peserta arisan, masing-masing menyetor uang arisan Rp. 20.000,00 sekali dalam seminggu (sebulan 4 x). Dalam arisan pertama terkumpul uang 400 rb. Dalam sebulan uang arisan terkumpul Rp 400.000,- x 4 = Rp 1600.000,-. Undian arisan dilakukan sebulan sekali, maka misalnya ketika A menang undian di akhir bulan (minggu ke-4), sebagai peserta pertama yang memenangkan undian, maka ia mendapatkan uang sebesar Rp. 1.600.000,-, Jadi pada dasarnya sejumlah uang ini merupakan utangnya pada peserta arisan 19 orang selain dirinya. Karena si A  sudah setoran 4 x= 80 rb, berarti utangnya yang harus dibayar melalui arisan kurang 1.520.000,- (76 x). Di samping itu uang sejumlah itu pada dasarnya merupakan tabungan yang diambil di muka, sebelum setorannya mencapai jumlah tersebut. Dalam hitungan matematis, tabungannya akan full sebesar itu bila ia telah setor/iuran arisan itu sebanyak 80 x (20 bulan=1 th 8 bl). Si A tidak boleh terbebani melebihi besaran Rp. 1.600.000,- Kelebihan yang dipersyaratkan merupakan riba. Masing-masing anggota yang 19 orang lainnya itu punya hak sama untuk memperoleh Rp. 1.600.000,-, dan berkesempatan yang sama pula sehingga dapat berkorban atau berakikah dari uang arisan tersebut, dan juga punya kewajiban yang sama iuran sebanyak itu.
Selain itu, harus terhindar dari gharar, maksudnya kegiatan arisan harus jelas mekanismenya, misalnya undian diadakan setelah 1 bulan pertama dan setelah itu setiap pertemuan mingguan secara berkala; uang arisan disetor setiap pertemuan; uang arisan ditujukan untuk sesuatu yang jelas, kurban atau akikah misalnya.
Dengan keterangan ini, diharapkan permasalahan arisan qurban atau akikah tersebut dapat dipahami oleh si penanya dan pembaca yang memerlukannya.
Karawaci, 15 Dzulhijjah 1432 H./21 Desember 2010 M.

Jumat, 03 Desember 2010

HIJRAH, TAHUN BARU DAN BELA NEGARA


HIJRAH, TAHUN BARU
DAN BELA NEGARA

Khutbah Jum’at

Oleh Ust. Ahmad Ali MD, MA
di Masjid Jâmi` al-Arsyad

Paburan Sibang, Pabuaran Karawaci
Kota Tangerang Banten
26 Dzulhijjah 1431 H.
3 Desember 2010 M.



Khutbah Pertama

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


الحمد لله الواحد القهار، العزيز الغفار، مكور الليل على النهار، تذكرة لأولى القلوب والأبصار، وتبصرة لذوي الألباب والإعتبار. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله  سيد الخلائق والبشر. أللهم صل وسلم على سيدنا محمد وأله وصحبه الأطهار. أما بعد.
فياأيها المسلمون! أوصيكم ونفسي بتقوى الله وطاعته فقد فاز من اتقى. فقال الله تعالى في كتابه الكريم في سورة البقرة: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم،
 
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللهِ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ .


          Hijrah, Tahun Baru dan Bela Negara
Ma`âsyiral Muslimîn Rahimakumullâh
Pada kesempatan yang mulia ini marilah kita tingkatkan kualitas keimanan kita untuk menjadi pribadi-pribadi yang berhijrah, yakni berpindah dari segala kerendahan kepada keluhuran, dari kebodohan kepada kealiman, dari kemaksiatan kepada ketaatan, dan dari kedurhakaan kepada ketakwaan.
Sebentar lagi, di Bulan Desember ini, kita akan memasuki tahun baru Hijriah 1432, yang kemudian pula akan disusul dengan tahun baru Masehi 2011. Tidak terasa kita bertambah umur semakin tua pada satu sisi, dan berkurang jatah umur kita pada sisi yang lain.
Tahun hijriyah adalah sistem kalender atau penanggalan Islam, dimulai dengan Bulan Muharram, yang dibuat pada masa Khalifah ‘Umar bin al-Khattab, menandai peristiwa hijrahnya Nabi SAW dari Makkah ke Yasrib-Madinah. Dari peristiwa sejarah ini kita diingatkan pada suatu peristiwa yang monumental, yaitu perjalanan hijrahnya Nabi, kiprah dan peran beliau dalam meletakkan dasar-dasar kehidupan ber-masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang populer dengan sebutan Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah.
Di tempat transitnya, sebelum sampai di Madinah, di Qubâ’ Nabi membangun Masjid Qubâ’, dan ketika sampai di Yasrib-Madinah, pun beliau juga membangun masjid yang dikenal dengan Masjid al-Nabawî. Dari sini jelas, bahwa pertama-tama yang diajarkan Nabi adalah tauhîd disertai dengan membangun sarana dan juga simbol tauhîd, kesatuan dan persatuan untuk beribadah dan bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, bukan semata-mata individual namun justeru secara berjamaah (kolektifitas). Hal itu sesuai dengan penegasan surat al-Taubah ayat 108:

.... لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه ...
 ”….Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang (beribadah) di dalamnya...” (QS. al-Taubah: 108)
Masjid, sejak masa Nabi dan hingga kini, bagi umat Islam mempunyai kedudukan dan peran yang istimewa dalam berbagai aspek kehidupan. Namun saat ini kedudukan masjid di tanah air, pada umumnya, lebih sebagai sebuah simbol tempat aktivitas ibadah mahdhah, khususnya shalat. Padahal fungsi dan peran masjid bukanlah sekadar itu. Masjid menjadi tempat yang strategis dan demokratis untuk kegiatan yang maslahat. Dikatakan strategis dan demokratis karena semua orang bisa masuk masjid, tanpa ada diskriminasi, seperti sistem penjenjangan atau levelisasi kelas; dari anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua; baik laki-laki maupun perempuan; kaya maupun miskin; dst. Keterbelakangan umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan, salah satu indikatornya, bisa dilihat dari optimal atau tidaknya fungsi dan peran masjid. Justru ironis, jika masjid dijadikan sarana provokasi kemandekan berpikir kreatif yang positif, menyebarkan radikalisme atau premanisme dan terorisme. Dari sini perlu dan penting dilakukan revitalisasi fungsi dan peran masjid dalam konteks kekinian. Revitalisasi peran masjid itu dilakukan dengan cara-cara: pertama, improvisasi model dakwah yang progresif, humanis, dan transformatif. Ini untuk menciptakan suasana yang harmonis, damai antara sesama umat Islam dan dengan umat lainnya. Juga untuk menghadang lajunya premanisme, radikalisme, terorisme, dan kekerasan dalam berbagai bentuknya. Karena ini juga merupakan jihad perdamaian (peaceful jihad). Kedua, meningkatkan peran masjid dalam kerangka meningkatkan kualitas pendidikan umat. Karena dengan pindidikan manusia akan tercerahkan dan terarah jalan kehidupannya. Dan tentunya yang ketiga, meningkatkan dan mengoptimalkan peran masjid sebagai sarana pemberdayaan dan peningkatan kualitas ekonomi umat, khususnya jamaah masjid. Untuk itu perlu diperhatikan kondisi jamaah masjid: bagaimana keadaan pemenuhan kebutuhan pokoknya, masjid bisa menjadi sarana pemberdayaan ekonomi dhu’afâ’ melalui optimalisasi fungsi dan manfaat zakat, infaq dan shadaqah.

Saudara-Saudara Kaum Muslimin Rahimakumullah
Setelah diawali dengan membangun masjid, di Madinah, tempat hijrah Nabi,  kemudian beliau membangun sebuah Negara Islam berdaulat zaman itu. Dalam membangun Madinah beliau membuat Piagam Madinah. Yaitu sebuah perjanjian tertulis antara Nabi dengan penduduk Madinah yang beragam background dan agamanya dalam kerangka membangun dan menjaga Negara Madinah. Kemudian Madinah menjadi tempat terpeliharanya keragaman atau masyarakat majemuk (pluralis), yang dipersatukan dengan Piagam Madinah.
Secara singkat, Piagam Madinah itu memuat dasar-dasar dan prinsip-prinsip hidup bermasyarakat dan bernegara, yang berisi dua hal pokok. Pertama, umat Islam, baik imigran (muhâjirûn) maupun penduduk pribumi (anshâr), yang terdiri dari berbagai suku, adalah satu umat, satu komunitas (ummatan wâhidah), sehingga mereka harus bersatu.
Kedua, sesama muslim dan hubungan antara komunitas Islam dan komunitas lain berdiri di atas lima prinsip: (1) bertetangga dengan baik; (2) satu sama lain saling membantu, termasuk dalam hal menghadapi musuh bersama; (3) membela mereka yang teraniaya; (4) satu sama lain saling menasihati dalam kebaikan; dan (5) saling menghormati agama masing-masing.
Dalam konteks Indonesia, Piagam Madinah itu telah mengilhami lahirnya Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, sebagaimana yang dirumuskan dalam Piagam Jakarta. Dengan demikian Pancasila adalah selaras dengan ajaran Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam Piagam Madinah.
Piagam Madinah pun saat ini relevan dijadikan pelajaran di tengah-tengah sering terjadinya tindakan premanisme, anarkhisme, perkelahian, dan pertikaian antara kelompok, terorisme dsb. Piagam Madinah juga menjadi relevan dengan butir penting dalam amanat UUD 1945 tentang bela atau pembelaan Negara, yang merupakan upaya membina potensi SDM (sumber daya manusia) agar mampu menjamin kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Kewajiban bela Negara itu sebagaimana tercantum dalam pasal  27 ayat (3): Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” dan pasal 30 UUD 1945: ”Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang”
Yang dimaksud bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya.
Kesadaran bela negara itu hakikatnya merupakan bentuk kesediaan untuk berbakti pada negara dan berkorban membela negara. Spektrum bela negara itu begitu luas, mulai dari yang paling halus, hingga yang paling keras: dari hubungan baik sesama warga negara sampai bersama-sama menangkal ancaman nyata musuh bersenjata. Tercakup di dalamnya adalah bersikap dan berbuat yang terbaik bagi bangsa dan Negara.
Maka dari itu, hijrah, dan tahun baru Hijriyah, mengingatkan kita pada warisan monumental Nabi SAW berupa Piagam Madinah yang hendaknya dapat kita terapkan dalam konteks bela negara, sehingga kita bisa optimis menatap masa depan Indonesia yang lebih cemerlang, maju, dan bermartabat, bahkan di tingkat regional dan global. Amîn. Semoga pula kita menjadi orang yang panjang usianya, panjang umurnya, dan yang baik amal perbuatannya. Amîn.
Sebagai penutup khutbah ini marilah kita ikuti firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab (33) ayat 21:


لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا.

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
بارك الله لي ولكم بالقرءان العظيم ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم  وتقبل الله منا ومنكم تلاوته إنه هو السميع العليم.


 
Khutbah Kedua

الحمد لله، نحمده نستعينه ونستهديه، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، أللهم صل وسلم على سيدنا محمد خير خلقه وأله وصحبه ومن اتبع الإسلام دينا. أما بعد.أيها الناس! أوصيكم ونفسي بتقوى الله وطاعته فقد فاز المتقون.
فقال الله تعالى إرشادا وتعليما.
إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما.
أللهم صل على سيدنا محمد وعلى أل سيدنا محمد كما صليت على سيدنا إبراهم وعلى أل إبراهم، وبارك على سيدنا محمد وعلى أل سيدنا محمد، كما باركت  على سيدنا إبراهم وعلى أل إبراهم في العالمين إنك حميد مجيد.
اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات وارحمهم إنك مجيب الدعوات يا قاضي الحاجات. اللهم أعز الإسلام والمسلمين. اللهم أصلح ولاة المسلمين بما فيه صلاح الإسلام و المسلمين. ربنا أتنا من لدنك رحمة وهيء لنا من أمرنا رشدا. ربنا لاتزغ قلوبنا بعد اذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب. ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما. ربنا أتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار.
 عباد الله إن الله يعمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفخشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون،  فاذكرواالله العظيم يذكركم واشكروه على نعم يزدكم واسئلوا من فضله يعطكم ولذكر الله أكبر. 
-------
Ahmad Ali MD©
Posted on Friday, Dzulhijjah 26, 1431/December 3, 2010


Minggu, 19 September 2010

Zakat dan Kemiskinan

Oleh Azyumardi Azra
 
Zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Inilah salah satu subjek yang paling banyak dibicarakan dalam berbagai ceramah iftar, kultum, dan dan bahkan seminar sepanjang Ramadhan menjelang Idul Fitri dan bahkan di luar waktu tersebut. Pembicaraan tentang subjek ini umumnya terkait dengan potensi ZIS untuk memberantas atau sedikitnya mengurangi kemiskinan yang masih merajalela di dalam masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia.

Dengan menggunakan kriteria pendapatan Rp 200.269 perkapita/bulan, BPS (Maret 2010) mencatat adanya 31,02 juta penduduk miskin-14,15 persen dari total penduduk Indonesia sekitar 228 juta jiwa. Jumlah warga miskin menjadi berlipat ganda jika menggunakan ukuran kemiskinan versi Bank Dunia, yaitu pendapatan 2 dolar AS per hari. Dengan ukuran ini, jumlah mereka mendekati 100 juta jiwa. Jelas, pemerintah dan bahkan juga donor asing tidak mampu memberantas kemiskinan yang begitu akut. Karena itulah, kontribusi masyarakat, khususnya umat Islam, melalui ZIS diharapkan dapat mengurangi kemiskinan.

Kaitan antara ZIS, khususnya zakat, dengan pemberantasan kemiskinan mendapat perlakuan khusus melalui penelitian Dompet Dhuafa, Peta Kemiskinan: Data Mustahik, Muzaki, dan Potensi Pemberdayaan Indonesia (2010). Hasil penelitian yang saya terima menjelang Idul Fitri ini merupakan sumbangan sangat signifikan dalam melihat peta mereka yang berkewajiban membayar zakat (muzaki) dan mereka yang berhak menerima zakat khususnya (mustahik) di seluruh Indonesia; mencakup semua provinsi sejak Papua sampai ke Nanggroe Aceh Darussalam; sebuah upaya pemetaan potensi zakat secara komprehensif.

Menurut penelitian ini, terdapat 23.676.263 muzaki di seluruh Indonesia dengan jumlah kumulatif terbesar di Jawa Barat 4.721.101 orang, Jawa Timur 2.871.741 orang, DKI Jakarta 2.467.677 orang, Jawa Tengah 2.181.139, Banten 1.324.908 orang, dan Sumatra Utara 1.094.889 orang. Sebagian besar (60,6 persen) muzaki adalah laki-laki; tetapi potensi perempuan tidak bisa diabaikan, yakni 39,4 persen. Penting dicatat, para muzaki ini sebagian besar berusia antara 25-59 tahun (26,1 persen berusia antara 25-34 tahun; 25.00 antara 35-44; dan 26,4 persen antara 45-59 tahun). Tak kurang menariknya adalah latar belakang pekerjaan para muzaki: 27,3 persen bekerja pada sektor pertanian; 20,8 persen pada sektor industri; 18,2 persen pada sektor jasa; dan 10,7 persen di sektor industri.

Sebagai kontras, jumlah mustahik di seluruh Indonesia adalah 33,943.313 jiwa-angka yang tidak berbeda terlalu banyak dengan jumlah penduduk miskin dalam estimasi BPS. Mereka yang berhak menerima zakat paling banyak terdapat di Jawa Timur 7.446.180 jiwa; Jawa Tengah 7.012.814; Jawa Barat 5.736.425; Lampung 1.560516; NAD 1.280.104; Sumatra Selatan 1.219.050; Banten 1.113.876; Sumatra Utara 1.076.778; NTB 1.041.402. Jumlah mustahik di provinsi-provinsi lain berkisar antara 60 ribuan sampai 500 ribuan orang. Dari segi gender nyaris berimbang: 49,9 persen mustahik adalah laki-laki, sisanya 50.1 persen perempuan. Lalu, 52 persen mustahik belum menikah; 42 persen menikah; cerai mati 4,6 persen; dan cerai hidup 1,4 persen. Tingkat pendidikan mereka pun sangat rendah, yakni 77 persen tidak tamat/tamat SD. Sebagian besar mustahik bekerja di sektor pertanian (63,1 persen); industri 8,9; perdagangan 8,8; dan jasa 7.2.

Masih banyak rincian menyangkut berbagai aspek kehidupan muzaki dan mustahik sejak dari status tempat tinggal mereka sampai potensi mereka sejak dari soal simpan pinjam dan kredit sampai kepada akses pada jalan aspal, listrik, dan siaran TV. Semua data ini jelas dapat memberikan banyak perspektif tentang para muzaki dan mustahik, khususnya dalam konteks pengumpulan zakat (dan juga infak dan sedekah) dan distribusinya kepada para mustahik sesuai dengan realitas kesulitan hidup mereka.

Potensi zakat (dan juga infak dan sedekah) Indonesia jelas sangat besar. Tendensi dalam 10 tahun terakhir menunjukkan terus meningkatnya jumlah dana yang terkumpul. Menurut berbagai kajian, kenaikannya rata-rata 38,79 persen per tahun; terakhir pada 2009 diperkirakan terkumpul dana zakat sebesar Rp 1,2 triliun.

Namun, juga jelas, potensi zakat yang ada (27,2 T untuk 2009) masih jauh daripada terealisasi. Karena itu, masih sulit berharap dana zakat dapat berperan penting dalam pengentasan warga dari kemiskinan. Lagi pula, tanggung jawab pemberantasan kemiskinan tetap berada pada pemerintah melalui APBN, bukan Organisasi Pengumpul Zakat (OPZ) dengan dana zakat yang relatif masih sangat terbatas itu.

Sumber: http://www.koran.republika.co.id/koran/28/119092/Zakat_dan_Kemiskinan dimuat Kamis, 16 September 2010 pukul 09:36:00.

Kamis, 16 September 2010

Menjauhkan Agama dari Kekerasan

Oleh Ahmad Ali MD

Kekerasan terjadi di mana-mana, terorisme berupa aksi pengeboman setiap tahun terjadi di Tanah Air sejak tragedi Bali pada tahun 2002 yang menewaskan sekitar 202 orang dan mencederakan 209  orang, hingga bom di Hotel JW. Marriot dan Hotel Ritz Carlton Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan pada 2009, dst. Peristiwa semacam ini masih menghantui kita: perusakan tempat-tempat maksiat, terutama menjelang dan dalam bulan Ramadhan oleh sekelompok orang yang biasanya mengatasnamakan FPI (Front Pembela Islam), kekerasan terhadap para aktivis HAM (hak asasi manusia), seperti yang pernah terjadi dalam kasus Monas, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, baik yang dilakukan oleh majikan pada pembantunya, suami pada isterinya atau sebaliknya, maupun penelantaran anak oleh orangtuanya.Bahkan yang terkini, kasus penusukan terhadap pendeta HKBP Bekasi beberapa waktu lalu, yang dilakukan oleh "oknum", entah apapun motifnya. 

Anehnya, kekerasan semacam itu, didasarkan pada agama: mencari legitimasi pembenaran agama melalui teks-teks —kitab— keagamaan. Misalnya, terorisme dalam bentuk pengeboman dimaksudkan sebagai bentuk jihad; perusakan tempat-tempat maksiat dimaksudkan sebagai pelaksanaan perintah nahy ‘anil munkar (mencegah kemungkaran). Padahal dalam konteks nation-state seperti Indonesia, yang berhak bertindak tegas adalah negara. Tentu ini pun dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, misalnya untuk menjaga disintegrasi bangsa, menumpas pemberontakan setelah adanya ajakan dialog intensif.

Memang ironis terjadi di negeri yang berpedoman pada sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kekerasan bukanlah bagian dari aksi kemanusiaan dan keadaban, tapi merupakan aksi kebiadaban. Padahal kita percaya agama mengajarkan kedamaian dan keselamatan bagi manusia. Islam membawa misi rahmatan lil ‘alamin (menebarkan kedamaian dan ketenteraman bagi semesta alam); dan Kristen menekankan ajaran kasih sayang kepada sesama. Namun agama ternyata telah seringkali disimpangkan dan diselewengkan oleh manusia.

Mengapa agama disalahgunakan? Charles Kimball, Guru Besar Studi Agama di Universitas Wake Forest, AS dalam bukunya Kala Agama Jadi Bencana (2004), seolah mewakili kecemasan umat manusia akan potensi penyalahgunaan agama tersebut. Ia memetakan secara apik beragam potensi dan asal-usul kekerasan yang dimiliki setiap agama, sembari tak lupa mengguratkan pelbagai kemungkinan perbaikan yang mendukung kembalinya khittah agama sebagai penebar cinta, kasih sayang dan perdamaian antarsesama.

Lima Tanda Penyimpangan
Menurutnya, untuk melihat tanda-tanda penyelewengan manusia atas agama yang menyebabkan bencana kemanusiaan itu, klaim kebenaran agama (truth claim) secara berlebihan yang diteriakkan pemeluk agama harus ditempatkan sebagai penyebab utama dan jadi titik awal kajian tentang praktik pengingkaran manusia atas kesucian agama. Padahal agama mempunyai nilai-nilai yang suci atau universal, seperti kemanusiaan, keberadaban dan perdamaian. Menurutnya ada lima tanda penting penyimpangan atas agama sebagai berikut:

Pertama, pemutlakan kebenaran tersebut disangga oleh pendekatan harfiah (literal) dalam memahami teks-teks kitab suci yang membuka celah bagi penyalahgunaannya. Pendekatan harfiah itu pula yang mendorong kian menyeruaknya tafsir monoponik yang memonopoli kebenaran dan ujung-ujungnya jadi sarana justifikasi teologis bagi praktik pengafiran serta penyingkiran siapa pun yang memiliki tafsir keagamaan yang berbeda.

”Bahkan iblis pun dapat mengutip ayat demi mencapai segala tujuannya,” kata Shakespeare sebagaimana dirujuk Kimball dalam bukunya tersebut terasa begitu mengena. Padahal, seperti dinyatakan Robert Alter, pakar kajian Yahudi dan sastra perbandingan, dalam tradisi keagamaan Yahudi, misalnya, ”makna bukanlah milik teks, melainkan sesuatu yang harus selalu dikaji dan terus-menerus dicari dan didefinisikan ulang” (Damanhuri, 2004).

Kedua, kepatuhan dan taklid buta kepada pemimpin agama dengan konsekuensi diringkusnya kebebasan intelektual serta absennya integritas individu menjadi sekadar pengabdian total pada otoritas pemimpin karismatik. Sekte-sekte dan kultus keagamaan ala Aum Shinrikyo (Jepang) atau People Temple (AS) menyodorkan manifestasinya yang paling tegas.

Ketiga, kerinduan akan zaman ideal yang benar-benar tanpa cacat dan berbeda dari zaman yang tengah dilalui —sembari berupaya keras untuk merealisasikannya sepersis mungkin seperti apa yang dikabarkan kitab suci— hal ini kini malah mendistorsikan agama itu sendiri. Cita-cita tentang zaman ideal tersebut, menurut Kimball, biasanya bermetamorfosis dalam keinginan yang menggebu untuk menegakkan negara-agama (teokrasi).

Keempat, adanya usaha untuk melestarikan praktik ”tujuan menghalalkan segala cara”. Machiavelisme keagamaan ini di antaranya mewujud ketika upaya memancangkan identitas kelompok sendiri harus diikuti cara-cara yang mendehumanisasikan siapa pun yang berada di luar komunitasnya, misalnya peristiwa Holocaust yang memusnahkan sekitar enam juta kaum Yahudi.

Kelima, adalah diteriakkannya seruan perang suci atau jihad sebagai tugas mulia yang wajib dilakukan.

Paradigma Baru ”Dakwah Humanis”
Dengan mendedah dan memetakan lima bentuk patologi keagamaan di atas, menurut Kimball, tak harus dimaknai telah habisnya unsur-unsur korektif dalam agama. Sebab, menurutnya, bila ditelusuri dengan jernih, antidot bagi kekerasan dan ekstremisme keagamaan itu sebenarnya telah tersedia dalam semua tradisi keagamaan.

Kita sebenarnya masih bisa berharap akan munculnya agama yang mengibarkan panji kemanusiaan universal. Bagaimana agar agama tidak dikorupsi/disimpangkan?

Untuk menghalau tendensi koruptif atau manipulatif dalam beragama dan melempangkan serta menebarkan upaya terciptanya kedamaian dan persaudaraan antariman/persaudaraan kemanusiaan itu, dibutuhkan sebuah paradigma baru: ”cara menjalani kehidupan partikular di tengah pluralisme” yakni aktualisasi keberagamaan kita melalui ”dakwah humanis”. Sebab, saat ini rasa-rasanya hampir mustahil bisa menolak kesalingtergantungan (dependensi) antaragama. Sama mustahilnya mengangankan untuk bisa hidup dalam atribut identitas sosial-budaya yang monolitik (tunggal).

”Dakwah humanis” ini sangat mendesak untuk segera dan selalu dilakukan oleh agama-agama (para tokoh dan pemimpin agama). Mendeklarasikan ”dakwah humanis” dan emansipatif yakni mengajak diri sendiri dan publik untuk memegang teguh nilai-nilai universal agama: kasih sayang, kedamaian, pluralitas, solidaritas sosial, keadilan, dan kesejahteraan manusia. Juga menghindarkan tindakan provokatif, aksi teror dan kekerasan yang mengatasnamakan agama: jihad atau perang suci. 

-------------
Arsip

Versi awal telah dimuat di HU Sinar Harapan, 3 November 2004, h. 10.

Minggu, 05 September 2010

Hifzh al-Maal: Uang Tuhan untuk Rakyat Miskin

Oleh Ahmad Ali MD
Pemeliharan harta benda (hifzh al-maal) merupakan satu butir penting di antara lima tujuan syariat (al-maqaashid al-khamsah). Yang dimaksudkan hifzh al-maal, meliputi: sub sistem penyediaan dana, seperti zakat, wakaf dan baitul mal; sub sistem pemilikan; dan sub sistem pemanfaatan atau pendistribusian harta (al-mashaarif, tasharruf al-maal). Bahwa dalam ajaran Islam, harta harus dihasilkan dari jalan yang halal dan baik (halaalan thayyiban). Jalan kepemilikan harta yang tidak baik, seperti melalui korupsi, riba, berjudi, menipu, menyopet dan sebagainya harus dijauhi. 

Harta juga harus diberikan pada dan dengan jalan yang baik pula, seperti untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, meningkat kualitas pendidikan, pemberdayaan ekonomi umat, pelatihan jurnalistik, dst. Dengan cara yang baik, maksudnya bukan untuk riyaa’ atau sum’ah (dipublikasikan) agar mendapatkan pujian atau menjadi tenar.

Tasharruf al-maal menjadi fokus perhatian Islam. Bahwa sejak semula Islam memandang harta haruslah memiliki fungsi sosial. Kapitalisme bukanlah ajaran dasar Islam. Karena Islam menekankan konsep keadilan yang menghendaki tidak bertumpuknya kekayaan pada segolongan orang semata, sehingga memperlebar jurang kemiskinan dan kesenjangan sosial (QS. al-Hasyr: 7). 

Sikap yang dituntut sebagai pemeluk yang taat adalah memerangi kekikiran dan berperilaku sebagai dermawan (QS. al-Ma’un: 1-3). Perlu dicamkan, "Tanpa tindakan-tindakan kasih dan dermawan yang dilakukan karena dorongan agama, tatanan sosial Islam akan hancur, sebab di banyak tempat di dunia Islam, pemerintah tidak cukup kuat atau cukup kaya untuk memenuhi kebutuhan minimum seluruh warga mereka.” (Sayyed Hosein Nasr). 

Nilai kedermawanan di atas bahkan melekat pada ciri-ciri orang yang beriman (QS. al-Baqarah: 3-4). Maka sangat memalukan sebagai penganut Islam tidak memerangi monopoli ekonomi yang pada dasarnya adalah penumpukan kekayaan secara berlebihan. Takwa itu bukan semata-mata kepercayaan akan keberadaan Allah, tapi juga sebuah keberimanan yang berfungsi sebagai transformasi sosial, pembebas dan pembela bagi manusia yang tertindas (al-mustadh’afiin).

Sistem yang tidak adil dan korup mengakibatkan kesenjangan dan kemiskinan. Dalam al-Quran tidak dibedakan antara mereka yang penindas dan tertindas, dalam tanggungjawab atas sistem yang tidak adil ini. Penindas bersalah karena arogansinya, kekayaannya, dan kekuasaannya. Al-mustadh’afiin bersalah karena menerima penindasan itu dengan tidak melakukan perlawanan. Dengan begitu, penindas secara leluasa melanjutkan penindasannya dan orang-orang yang ditindas tidak bangkit dan menumbangkan sistem yang korup. Para penguasa bebas merancang, merekayasa, mendesain berbagai peristiwa, untuk menipu kaum mustadh’afiin. Pada gilirannya kaum mustadh'afiin tidak pernah mau berpikir kritis, dengan digiring ke dalam rekayasa para penindas (Jalaluddin Rahmat dalam Eko Prasetyo: 2004). 

Untuk itulah Islam diturunkan, memerangi kaum kapitalis/borjuis yang tidak adil dan memihak sepenuhnya pada kaum miskin. Benarlah seperti yang dikatakan Dr. Thaha Husain, jika Muhammad saw. hanya mengajarkan ke-esaan Tuhan tanpa menyerang tatanan ekonomi yang pincang, perbedaan sistem sosial dan tidak melarang riba secara keras, bisa jadi suku Quraisy akan menerima dengan mudah Islam. Perlambang yang tepat untuk melukiskan itu semua dalam Islam tertuang pada kata “kitab” yang menjadi simbol kebudayaan intelektual dan pendidikan; “neraca” lambang persamaan, kebenaran dan keadilan; lalu “besi” lambang kekuatan material, seperti peradaban industri, kekuatan militer—dalam mempertahankan eksistensi kedaulatan negara, kekuatan individu dan sosial. 

Fungsi sosial dari pemilikan dalam Islam bukan hanya agar tidak menimbulkan kerugian baik yang dirasakan oleh individu maupun orang banyak, tetapi lebih dari itu, hak milik pun harus bersifat aktif dan produktif. Artinya, pemilik harus membiarkan dan mengizinkan orang lain memanfaatkan miliknya, sepanjang tidak merugikan kepentingannya, bahkan memberikan kemanfataan yang lebih besar (mashlahah al-‘ammah, mashlahah al-mujtama’). 

Mengenai tasharruf al-maal li mashlahah al-mujtama’, Islam telah mengatur berbagai jalannya melalui zakat, infaq, shadaqah (ZIS). Dalam hal tanggungjawab distribusi harta untuk orang yang lemah, terdapat tiga tingkat. Tingkat pertama di kalangan sesama anggota keluarga. Tingkat kedua, dalam tingkat kampung, desa/kelurahan dan kota. Ketiga pada tingkat negara harus dipenuhi oleh pemerintah. Pemerintah bertanggungjawab bagi “kesejahteraan umum” (UUD 1945), terutama kaum lemah yaitu dengan menarik zakat, pajak dan semacamnya yang kemudian didistribusikan kepada mereka (Abu Zahrah: 1991). 

Karenanya, pemerintah dan DPR, DPD maupun DPRD harus betul-betul memperhatikan perihal anggaran. APBN/APBD harus betul-betul dialokasikan untuk kebutuhan dan kepentingan warga, terutama yang lemah.
Pendistribusian harta bukan sekedar bagi-bagi saja, tetapi harus mengupa-yakan terciptanya pember-dayaan ekonomi dhuafaa’. Program pemberdayaan ini semestinya dilakukan oleh pemerintah dan Lembaga Pengelola Zakat (LPZ). 

Lima hal yang hendaknya dicapai dari program pemberdayaan di atas (Efri S. Bahri: 2004). Pertama, mengubah mustahik menjadi muzaki. Untuk mencapainya, perlu adanya tools (perangkat/alat) yang mampu memberdayakan mustahik. Tools itu mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian serta evaluasi program. Sehingga alokasi dana untuk mustahik, bukan sekadar bagi-bagi, namun mampu menjadi aset produktif. Makin tinggi produktivitas mustahik makin besar pula tingkat keberhasilan suatu LPZ. Keberhasilan para mustahik tentu juga akan meningkatkan jumlah para muzaki. Sehingga semakin banyak pula mustahik lain yang tertangani. 

Kedua, meningkatkan harkat hidup mustahik. Hal yang dilakukan adalah mengangkat dan memulihkan motivasi dan kesadaran mustahik untuk terus bangkit dari kondisi yang mendera, memberontak pada ketidakadilan dan sistem yang korup. Karena dengan motivasi hidup menjadi makin bergairah, pikiran makin terbuka, hati menjadi sejuk, hari-hari akan penuh dengan karya. 

Ketiga, menciptakan lapangan pekerjaan. Adanya pekerjaan yang tetap dan memadai akan sangat bermanfaat bagi keluarga mustahik. 

Keempat, meningkatkan tali persaudaraan sesama “pengusaha” penerima dana ZIS. Makin kuat persaudaraan akan membentangkan pergaulan diharapkan makin banyak pula alternatif yang diraih guna mengubah kondisi menjadi lebih baik. 

Kelima, adanya perubahan pola pikir dan pola hidup yang lebih pro-duktif. Hal ini dapat dicapai dengan adanya pelatihan peningkatan motivasi, tausiah konsep hidup produktif secara Islami, perencanaan keuangan keluarga, serta berkunjung ke lokasi-lokasi produktif. 

Oleh karena itu, pemerintah maupun LPZ perlu menerapkan prinsip, kemandirian bagi masyarakat, profesionalisme manajerial dan pengawasan terhadap lembaga mitra LPZ. Bentuk pengelolaan program dilakukan baik secara langsung, yakni dikelola oleh lembaga ekonomi, dimana LPZ terlibat dalam permodalan dan kepemilikan, baik secara keseluruhan atau sebagian, dan dapat terlibat dalam manajemen operasinya; maupun secara tidak langsung, yakni dimana pihak LPZ terlibat dalam modal penyertaan, tapi bukan penyerta kepemilikan, atau sebatas fungsi lembaga penyandang dana yang memberikan fasilitas bantuan pendanaan, bantuan pinjaman modal. 

Strategi seperti inilah yang perlu dikembangkan lebih serius lagi. Inilah maksud dari hifzh al-maal. Bahwa harta harus dikelola dengan baik agar dapat berfungsi sosial secara maksimal, mensejahterakan rakyat miskin.*
-------------
Arsip
Semula dimuat di Tabloid Jum'at An-Nadhar, P3M Jakarta, kemudian dimuat di www.islamemansipatoris.com (almarhum), ditampilkan di blognya Efri S. Bahri oleh si empunya blog, 2004.

Rabu, 25 Agustus 2010

Al-Qur’an Sumber Segala Ilmu

Oleh Ahmad Ali MD 

Jamaah Shalat tarawih yang semoga dimuliakan Allah.

al-Qur’an kitab suci umat Islam diturunkan pada bulan suci Ramadhan, pada suatu malam yang diberkati, yang di dalamnya terdapat malam Lailat al-Qadar, yang lebih baik dari seribu bulan. Menurut riwayat yang shahîh, al-Qur’an diturunkan keseluruhan dalam sekali waktu (daf`atan wâhidatan, jumlatan wâhidatan) dari Lauh al-Mahfûzh ke Bait al-`Izzah langit dunia ini. Kemudian al-Qur’an diturunkan secara bertahap (munajjaman, mufarraqatan) selama kurun waktu 23 (dua puluh tiga) tahun. Awal turunnya al-Qur’an yang kemudian diperingati sebagai malam Nuzûl al-Qur’an adalah malam ke-17 bulan Ramadhân, di mana ayat pertama kali diterima Nabi adalah surat al-`Alaq, Iqra’… 

Al-Qur’an secara garis besar berisi 3 (tiga) ajaran pokok, yaitu ajaran tentang akidah (keimanan), hukum, dan akhlak. 

Terhadap al-Qur’an ini ada 3 (tiga) respons atau sikap umat Islam yang menunjukkan tingkat keimanan mereka. Pertama, orang beriman yang masih zalim kepada dirinya sendiri dengan banyak berbuat dosa; kedua, orang beriman yang sedang atau menengah dalam berbuat kebaikan; dan ketiga, orang beriman yang cepat dan bergagas menuju kepada berbagai kebaikan. Demikian ini sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Fâthir/35: 32.

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَالْفَضْلُ الْكَبِيرُ

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.

Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya, dan pertengahan ialah orang-orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan. 

Menurut Kitab Suci al-Qur’an, peningkatan dari suatu jenjang ke jenjang itu adalah melalui karunia ilmu, sebagai penunjang atau pelengkap bagi iman. Dan di sini ilmu yang dimaksud adalah ilmu dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk, sudah tentu, ilmu tentang ajaran agama itu sendiri. Hal ini tentu saja sangatlah logis, karena iman tanpa pengetahuan tentang apa yang diimani tentu akan menghasilkan keimanan yang berkualitas rendah, disebabkan oleh rendahnya keinsafan akan makna Pesan Ilahi dalam agama. Setiap orang yang beriman wajib meningkatkan mutu keimanannya dengan cara terus menerus belajar dan menambah pengetahuan. Dengan ilmu yang dilandasi oleh iman itu kesadaran terhadap apa yang baik dan yang buruk akan menjadi semakin meningkat, sehingga setiap kali ia berbuat sesuatu yang tidak benar ia akan cepat insaf, menyadari, dan kembali kepada jalan yang diridhai Allah. Oleh karena itulah, sejalan dengan firman Allah yang dikutip di atas, maka dapat ditegaskan bahwa semakin mendalam ilmu seseorang yang beriman, maka semakin pula ia mendapatkan kebaikan dari Allah. Sebab ilmu yang diterangi iman itu akan menjadi pangkal kearifan (hikmah, wisdom). Demikian sejalan dengan firman Allah:

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ  وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا  وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ

Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (QS. Al-Baqarah; 269).

Jadi, ilmu bagi seorang yang beriman akan memberi manfaat peningkatan atau pendidikan (dalam bahasa Arab disebut tarbiyyah, yang bermakna peningkatan), yang meningkatkan kualitas keimanan dari suatu jenjang ke jenjang yang lebih tinggi. Oleh karena itulah, tujuan ilmu adalah untuk beribadah kepada Allah `Azza wa Jalla. Konsekuensinya adalah agar senantiasa kita terus menerus menuntut ilmu, baik ilmu yang, oleh Imam al-Ghazâlî, disebut sebagai ilmu syar`î, maupun ilmu non syar`î, dengan semakin banyak ilmu pengetahuan yang kita miliki, maka semakin besar dan luas pula kesempatan kita beribadah kepada Allah. Sebab semua aktivitas kehidupan kita bisa bernilai ibadah, jika dilandasi oleh keimanan, dan ilmu pengetahuan yang membawa maslahat (kemanfaatan, kebaikan). 

Momentum Ramadhan ini kita harapkan dapat menjadi cambuk motivator yang mengingatkan kita agar kita menyadari posisi dan level keberagamaan kita: apakah kita termasuk golongan yang zalim terhadap diri kita (zhâlimun linafsih), ataukah yang pertengahan dalam berbuat kebaikan (muqtashid), atau apakah kita tergolong yang berlomba-lomba dalam kebaikan (sâbiqun bi al-khairât). Dengan bermuhâsabah, introspeksi itu, kita akan tergerak untuk menjadi yang terbaik, menjadi yang terdepan, sesuai dengan apa yang diajarkan al-Qur’an, agar kita sebagai umat Islam menjadi umat yang terbaik (khaira ummah) yang dilahirkan untuk umat manusia, yang menyeru kepada kebaikan (ta’murûna bi al-ma`rûf), dan mencegah dari kemungkaran (wa tanhauna `an al-munkar). (Baca QS. Ali `Imrân [3]: 110). 

Keterangan dari Berbagai Sumber.

Disampaikan pada malam ke-16 Ramadhan 1431 H./25 Agustus 2010 di Mushalla Dârussalam Pabuaran Karawaci Kota Tangerang.

Rabu, 18 Agustus 2010

Islam dan Semangat Revolusi


Oleh: Ahmad Ali MD

Negeri kita adalah negeri --yang berpenduduk mayoritas-- muslim, namun juga banyak koruptornya. Apakah dalam Islam tidak ada unsur-unsur revolusioner termasuk terhadap masalah korupsi, sehingga umatnya di negeri ini penuh dengan korupsiisme. Jawaban atas pertanyaan ini penting diajukan karena seringkali perilaku umat Islam tidak sesuai dengan ajaran agama (Islam) dan bahkan agama dijadikan sasaran "kambing hitam" atau momok atas suatu kemajuan/modernisasi. 
  
Jawaban terhadap pertanyan di atas dapat dilakukan dengan pendekatan historis. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diperhatikan kembali pengertian revolusi itu sendiri dan perbedaannya dengan kekerasan (violence). Revolusi (pembebasan) berbeda dengan kekerasan. Revolusi merupakan cara dalam mempertahankan dan merebut sesuatu hak dari suatu kezaliman, meskipun terjadi suatu tindak kekerasan, pengrusakan. Pengrusakan atau kekerasan yang terjadi semacam ini bukan suatu tujuan dan tidak dapat dinamakan sebagai kekerasan. Sedangkan kekerasan adalah bentuk kejahatan terhadap orang atau pihak lain, tanpa suatu alasan yang sah. (Lih. Hassan Hanafi, Agama dan Kekerasan, Jendela Pustaka, 2001).

Bahwa salah satu bagian (kandungan) dalam al-Qur'an adalah perihal kisah (Arab; qishah j. qashash) para nabi. Jika kita telaah, ternyata agama adalah revolusi itu sendiri dan para nabi merupakan revolusioner, pembaharu sejati. Nabi Ibrahim adalah cermin revolusi akal menundukkan tradisi-tradisi buta, revolusi tauhid melawan berhala-berhala (Q.S. al-Anbiya': 52-71). Musa merefleksikan revolusi pembebasan melawan otoritarianisme (Q.S. al-A'raf:104-124; Thaha: 56-79). Isa adalah contoh revolusi ruh atas dominasi materialisme (Q.S. Alu 'Imran: 50). Dan Muhammad SAW merupakan tauladan bagi kaum papa, hamba agi perubahan sosial (social engineering) secara total (keseluruhan), terlebih dalam dimensi keyakinan (iman) dan moralitas (akhlak) manusia. Para nabi merupakan guru besar dan pejuang nilai-nilai kemanusiaan menuju taraf yang lebih tinggi dan sempurna, akhir kenabian ditandai bahwa kemanusian telah termanifestasikan menjadi kemandirian akal (istiqlal al-'aql) dan berkemampuan meningkatkan derajat progresifitasnya sendiri.
 
Dalam sejarah Islam banyak dijumpai aneka revolusi sosio-religio-politik, seperti revolusi Qaramithah dan Mahdiisme di Sudan, Sanusiyah di Libya, al-Isam di Aljazair, gerakan Abdul Hamid bin Badis, Abdul Qadir al-Maghribi dan Omar Mukhtar di Afrika Utara, gerakan "Komunitas Islam" di Amerika, perjuangan Ikhwanul Muslimin di Palestina, revolusi Nasserisme di Mesir dan sebagainya. Tugas kita saat ini adalah mengapresiasi secara positif revolusi-revolusi ini dan menggemakan dan membumikan gerakan-gerakan revolusioner di negara kita khususnya dan dunia pada umumnya. 

Dalam menggerakkan kembali semangat revolusi kita juga dapat mengambil inspirasi dan akarnya dari revolusi agama-agama lain. Seperti beberapa revolusi yang terjadi dalam sejarah Yudaisme dan Kristiani; perlawanan Ibnu Uqaibah terhadap Romawi; pemberontakan petani di Jerman pada abad XVI, Teologi Pembebasan di Amerika Latin dan revolusi "Gereja Hitam" di Amerika Utara. Disamping itu, revolusi juga terjadi di luar agama-agama monoteis seperti revolusi Budhis di Vietnam, revolusi Konfusanisme selama masa-masa "Long March" di China dan revolusi agama-agama Afrika melawan penjajah Kulit Putih di Afrika Utara.

Dewasa ini di Barat telah tumbuh kecenderungan baru dalam teologi yang mengambil "revolusi" sebagai subyek pembahasan, dan sering disebut dengan "theology of revolution" yang juga mengandung pengertian "teologi tanah", "teologi pembangunan", "teologi perubahan sosial", dan "teologi progresif". Dalam peta pemikiran agama, aliran ini menjadi suatu cabang yang paling penting. Teologi telah menajdi ilmu tentang rakyat ('ilm al-jamahir); ilmu tentang gerakan-gerakan kerakyatan di dalam masyarakat tertindas seperti Afrika, Asia dan Amerika Latin. Kenyataan revolusioner menampakkan dirinya di mata para teolog dalam komunitas keagamaan, banyak kemudian yang mengambil "revolusi" itu sebagai subyek studi dan sekaligus berpartisipasi di dalamnya (Hassan Hanafi, Kiri Islam, LKiS, 1997).

Dengan melihat sisi historis dan kenyataan di atas, maka dapat dikatakan, bahwa terdapat pertautan antara agama (Islam) dan revolusi, ada unsur-unsur revolusioner dalam agama yang dengan kata lain, agama (Islam) adalah revolusi itu sendiri. Agama menjadi landasan dan revolusi merupakan tuntutan zaman, sebagaimana para filosof muslim pendahulu kita mengupayakan pertautan antara filsafat (al-hikmah) yang merupakan keharusan zaman dengan syari'ah sebagai landasannya. Upaya mempertautkan agama dan revolusi ini merupakan kerja natural untuk mengaktualisasikan vitalitas peradaban Islam dan kelangsungannya dalam sejarah. Oleh karena itu, kerja mempertautkan keduanya (agama dan revolusi) bukanlah sesuatu yang asing dan latah.

Revolusi yang mesti kita lakukan adalah revolusi Islam, karena pada hakikatnya revolusi sekuler yang mendasari gerakan kaum Marxis tersebut adalah bagian dari revolusi Islam yang merupakan revolusi komprehensif, bersifat kerakyatan dan menyejarah. Pilihan revolusi Islam dalam merubah krisis multi dimensi yang sedang melanda di negeri --yang mayoritas-- muslim ini. Semangat revolusi ini jelas harus ditanamkan dan dipatrikan dalam jiwa setiap individu muslim dan bangsa Indonesia dalam menuju Indonesia Baru yang lebih baik. Karena dalam membangun bangsa ini diperlukan kerjasama semua pihak tanpa diskriminatif terhadap kaum nonmuslim. Indonesia adalah milik kita bersama, dan revolusi harus disuarakan dan digerakkan. Islam menjadi ilmu, aksi, tauhid dan kesyahidan (martyrdom).
(Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan keagamaan)


Arsip:
Semula dimuat di HU Pelita, 25 Oktober 2007; 
Sumber: http://www.pelita.or.id/baca.php?id=23392

Sabtu, 14 Agustus 2010

Berpuasa Karena Landasan ”Îmân” dan ”Ihtisâb”

Kultum Ramadhân 1431 H.

Oleh Ahmad Ali MD

Jamaah Shalat Tarâwîh rahimakumullâh.

Marilah kita perhatikan hadis Nabi s.a.w. berikut:

عَنْ النَّبِيِّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏قَالَ ‏ ‏مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ‏

Dari Nabi s.aw. beliau bersabda: "Siapa saja yang mendirikan shalat (beribadah) di malam Lailatu al-Qadar karena landasan iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat; dan demikian pula siapa saja yang berpuasa Ramadhan karena iman dan menghadap sepenuh hati dengan kekhusyu'an kepada Allah (ihtisab), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat.
(HRS. al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a.)

Mari kita camkan kata-kata Syaikh Nashir bin Muhammad bin Ibrâhîm al-Samarqandî, dalam kitabnya Tanbîgh al-Ghâfilîn (Semarang: Thaha Putera, t.t., h. 120).

Îmân adalah membenarkan adanya pahala yang dijanjikan Allah; dan ihtisâb berarti menghadap sepenuh hati secara khusyuk kepada Allah Ta’ala. Konsekuensinya, seorang yang berpuasa yang ingin mengharapkan pahala dan keutamaan yang telah disebutkan Nabi s.a.w,-- yaitu akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat --pen, maka seyogyanya ia mengetahui kemuliaan bulan Ramadhan ini, dan menjaga lidahnya (ucapannya) dari berdusta, gosip (ghîbah), dan berlebih-lebihan, di samping juga menjaga anggota tubuhnya dari melakukan perbuatan salah, tergelincir dosa, serta menjaga hatinya dari hasûd (dengki, iri hati), dan memusuhi kaum muslimin. Jika pun ia telah melaksanakan tatacara itu, seyogyanya ia pun merasa cemas, tidak menyombongkan diri, bahwa apakah Allah menerima amal ibadahnya ataukah tidak. Ini sejalan dengan hadis berikutnya:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ‏ ‏مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ ‏ ‏الزُّورِ ‏ ‏وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ 

Rasululullâh s.a.w. bersabda: Siapasaja yang tidak meninggalkan perkataan keji, dan perbuatan keji, maka tidak ada alasan bagi Allah untuk menerima perbuatan meninggalkan makan dan minumnya
(amal ibadah puasanya). 
(HSR. al-Bukhârî dari Abû Hurairah r.a.) 

Jadi syaratnya puasa yang dapat menghapuskan dosa-dosa kita adalah puasa yang dilandasi dengan keimanan, dan dilakukan dengan menghadap sepenuh hati, dan khusyu’ kepada Allah SWT.

Sungguhpun demikian, ada yang penting ditegaskan dan digarisbawahi, bahwa: Ada 4 (empat) golongan orang yang tidak diampuni Allah di bulan Ramadhân ini, sebagaimana tersebut dalam hadis yang sangat panjang mengenai Fadhlu Syahri Ramadhân (Keutamaan Bulan Ramadhan) yang diriwayatkan oleh Abû al-Laits al-Samarqandî r.a., bersumber dari Ibn `Abbâs r.a.

Keempat golongan itu adalah:
(1) Orang yang selalu bermabuk-mabukan (mudmin-u khamrin);
(2) Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya (`âqun li wâlidaihi);
(3) Orang yang memutus ikatan kekeluargaan/ persaudaraan, silaturahim (qâthi` al-rahim); dan
(4) Orang yang mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari (musyâhin, al-mushârim). Wallâhu a’lam. Semoga kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan benar-benar didasari alasan keimanan, dan menghadap sepenuh hati dengan kekhyusu’an kepada Allah Azza wa Jalla. Amîn.

Cat:

1. Redaksi lengkap hadis pertama di atas:

حَدَّثَنَا ‏ ‏مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏هِشَامٌ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏يَحْيَى ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي سَلَمَةَ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي هُرَيْرَةَ ‏ ‏رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ‏ عَنْ النَّبِيِّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏قَالَ: ‏‏مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. ‏‏ 
ttp://hadith.al-islam.com/Display/Display.asp?Doc=0&Rec=2987

2. Redaksi lengkap hadis kedua di atas:

حَدَّثَنَا ‏ ‏آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِيهِ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي هُرَيْرَةَ
‏ ‏رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ‏ ‏قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ‏‏مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ ‏ ‏الزُّورِ ‏ ‏وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ. 

http://hadith.al-islam.com/Display/Display.asp?Doc=0&Rec=2991 

Keterangan hadis ini dapat dilihat dalam Syarah dan Terjemah Siyâdh al-Shâlihîn (Judul asli Nuhzat al-Muttaqîn) (Jakarta: al-I`tisham Cahaya Umat, 2006), h. 428. 3.

Tentang 4 (empat) golongan yang tidak diampuni di bulan Ramadhan, hadis lengkapnya lihat dalam Tanbîqh al-Ghâfilîn, h. 117-118.

Disampaikan di Mushalla Dârussalâm Pabuaran Karawaci Kota Tangerang, pada malam Sabtu, 4 Ramadhân 1431 H/13 Agustus 2010 M.

Kamis, 15 Juli 2010

Memenej Ibadah dan Menjauhkan Perbuatan Dosa


Semua kita hafal surat al-Fâtihah, meskipun tingkat kefasihan bacaan dan pemahamannya beraneka ragam. Surat ini sangat fital terutama dalam ibadah shalat, karena itulah disebut al-Sab`u al-matsânî, tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang setiap kali melakukan shalat, yang membacanya merupakan rukun di dalamnya. Untuk itu, menjadi sangat penting dipahami isi kandungannya.
Di antara kandungan ayat yang penting dipahami itu adalah ayat ke-5, yang merupakan inti surat al-Fâtihah. Ayat dimaksud berbunyi,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
"Hanya kepada-Mu (Allah) kami menyembah, dan hanya kepada-Mu jua kami memohon pertolongan." 

Ayat ini sangat mendasar. Pertama, ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa Allah, karena ridha Allah (lillâh) harus menjadi motivasi atau orientasi perbuatan kita. Yang berhak disembah, dijadikan Tuhan hanyalah Allah semata. Menuhankan Allah semata, bukan menuhankan atau menyembah selain-Nya, berupa harta benda, tahta/kekuasaan, wanita, perhiasan, popularitas, dst. Orientasi menuhankan uang, kekuasaan atau jabatan, dan tunduk pada popularitas dsb, sudah membudaya dalam kehidupan banyak orang Islam dewasa ini, inilah paham materialisme, yang menjadi tolak ukur adalah serba materi, kebendaan, bahkan menjadi orientasi, cita-cita, dan tujuan hidup. Jelas-jelas ini tidak sejalan dengan ayat tersebut. 

Kedua, ayat ini mengajarkan kepada umat Islam suatu prinsip yang penting yaitu prinsip berjamâ`ah (kebersamaan), baik dalam memenuhi hak Allah (haqqullâh), ketaatan kepadaNya, maupun hak hamba, kebutuhan hidup manusia (haqq al-`ibâd). Bahwa redaksi ayat itu memakai shighat atau bentuk mutakallim ma`a al-ghair, menggunakan harf al-mudhâra`ah: nûn yang menunjukkan arti kami/kita, na`budu (kami menyembah), dan nasta`înu (kami memohon pertolongan).

Bahwa kita dalam beribadah memenuhi hak Allah (haqqullâh), itu hendaknya menafikan sifat egoisme (keakuan diri), tetapi mengedepankan kolektifitas, kebersamaan, ketenteram jiwa bersama. Demikian juga dalam memenuhi hak diri, kebutuhan hidup (haqq al-`ibâd), juga mengedepankan kebersamaan (jamâ`ah), kesejahteraan bersama. Berdasarkan ajaran ayat ini, maka menejemen ibadah, dengan cara berjamaah, dalam berbagai sendi kehidupan menjadi sangat penting. Karena itulah berjamaah merupakan syiar Islam. Bahkan menjadi sesuatu yang fundamental (mendasar).

Ibadah dalam arti sempit merupakan pengertian ibadah mahdhah (ibadah murni), seperti shalat, zakat, puasa, dan haji wajib, dan ibadah dalam arti luas meliputi segala perbuatan baik yang ditujukan untuk memperoleh ridha Allah `Azza wa Jalla.

Beramar makruf nahi mungkar merupakan bagian ibadah dalam arti luas. Dalam konteks ini, maka memenej ibadah dengan cara membuat atau memulai suatu perbuatan baik, dan kebiasaan baik yang diikuti banyak orang, bahkan secara terus menerus menjadi penting dilakukan. Karena dengan itu berkat kemahabijaksanaan Allah seseorang yang memulai perbuatan baik yang kemudian diikuti bahkan menjadi tradisi maka pahala perbuatan baik itu kemudian dilipat gandakan: orang pertama yang memulainya mendapat pahala dari orang yang kemudian, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Ini berdasar hadis riwayat Muslim bersumber dari Abû `Amr, Jarîr bin `Abdillâh, bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda: 
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيئ.

"Siapa saja yang memulai dalam Islam perbuatan yang baik baginya pahala kebaikan itu, dan pahalanya orang yang mengikuti perbuatan baik itu setelahnya tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka".
(Hadis ini tersebut dalam Kitâb Riyâdh al-Shâlihîn karya Imam Abû Zakariyyâ Yahya bin Syarf al-Dîn al-Nawawî)

Dalam ajaran agama kita, kita diperintahkan untuk menjauhi dosa. Kata dosa yang dalam bahasa Arab ada beberapa istilah: wizr-un, itsm-un dan dzanbun yang semuanya berarti dosa. Pada dasarnya setiap orang, masing-masing menanggung perbuatan dosa yang dilakukannya sendiri. Ini disebut wizr al-mubâsyarah (dosa langsung). Dalilnya antara lain adalah surat al-An`âm ayat 164, al-Isrâ’ ayat 15 dan Fâthir (35), ayat 15. Firman Allah tersebut dalam surat al-An`âm ayat 164:
وَلاَتَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَتَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى...

”Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatan-nya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”

Namun harus diingat bahwa seseorang juga bisa memikul dosa yang dilakukan oleh orang lain, ini disebut wizr al-tasabbub (dosa tidak langsung), yaitu dosa yang dipikul seseorang karena ia menyebabkan orang lain melakukan atau mengikuti perbuatan dosa. Dengan kata lain perbuatan dosa yang dilakukan orang lain disebabkan perbuatan dosa yang ia lakukan. Membuat kebijakan atau aturan maupun tuntunan jelek yang diikuti orang banyak, berdampak orang yang memulai melakukannya juga ikut memikul beban dosa dari perbuatan dosa mereka yang mengikutinya.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang merupakan penjelas terhadap ayat di atas, hadis riwayat Imam Muslim yang merupakan redaksi lanjutan dari hadis yang telah dikutip di atas:

ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارههم شيئ.

Dan siapa saja yang dalam Islam memulai suatu perbuatan jelek maka ia mendapatkan dosa perbuatan jelek itu, dan dosa orang yang melakukan setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun. 

Maraknya kasus pornografi maupun pornoaksi, korupsi, suap, dan sejenisnya, meskipun di negara kita telah mempunyai peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan tidak kurang dari lima peraturan perundang-undangan anti korupsi, menunjukkan betapa banyak orang sudah tidak menyadari dosa yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat di hadapan Sang Yang Maha Menguasai Hari Pembalasan (Mâliki Yaum al-Dîn). Mereka berarti tidak memenuhi kategori beriman kepada yang gaib, dalam hal ini hari akhirat. Karena beriman kepada yang gaib (akhirat), konsekuensinya harus mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan perbuatan baik (amal shaleh). Meskipun nanti di akhirat kelak, mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa, di Padang Makhsyar ada Syafaat Nabi Syafa`at al-`Udzmâ (Syafaat Agung) bagi umat Nabi, orang Islam, namun penting disadari bahwa orang yang demikian tergolong dalam golongan orang yang lama di neraka, keluar dari api neraka paling akhir, dan masuk surga pun juga paling akhir.

Menjauhkan perbuatan dosa merupakan bukti keimanan kepada akhirat, karena menyadari bahwa di hari itulah merupakan hari pembalasan (Yaum al-Dîn) yang seadil-adilnya terhadap amal perbuatan manusia selama di dunia, perbuatan baik dibalas dengan kebaikan dan perbuatan jelek dibalas dengan kejelekan pula.

Semoga Allah S.W.T menunjukkan kita kepada jalan-jalan ibadah yang diridhai-Nya, dan menjauhkan kita dari perbuatan dosa, baik dosa langsung (wizr al-mubâsyarah) maupun dosa tidak langsung (wizr al-tasabbub). Amîn.
Marilah kita perhatikan peringatan Allah SWT. dalam al-Qur’an surat al-An`âm/6:120:

وَذَرُوا ظَاهِرَ اْلإِثْمِ وَبَاطِنَهُ إِنَّ الَّذِينَ يَكْسِبُونَ اْلإِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ.

"Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan."

Disarikan dari Khutbah Jum’at di Masjid Jâmi' al-Arsyad Karawaci Kota Tangerang, Juni 2010.